Asia, Kebal Krisis?


Krisis yang terjadi di Eropa berawal dari kegagalan Yunani dalam membayar Surat Utang Negara (SUN). Krisis kemudian merambat ke negara Uni Eropa lainnya seperti Portugal, Spanyol dan Italia. Dampaknya sudah menyebar ke Amerika.

Sampai awal tahun 2011 krisis belum begitu terasa pengaruhnya terhadap Asia. Ada kesan seolah-olah negara-negara Asia tidak terpengaruh secara signifikan oleh krisis Eropa. Kalaupun ada, hanya sedikit memperlambat pertumbuhan ekonomi seperti yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kepala Bidang Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Kemenko Perekonomian Rofianto Kurniawan. Dia menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV -2011 mencapai 6,3% dan tahun 2012 akan tumbuh minimal 5,3%. Ekonom lainnya memperkirakan Indonesia akan tumbuh 6%-6,4%. Adapun Bank Dunia memprediksi, tahun 2011 ekonomi Asia tumbuh 8,2%, Namun, pertumbuhan tahun 2012 melambat menjadi 7,8%.

Benarkah Asia akan terbebas dari dampak krisis Eropa dan Amerika? Benarkah pertumbuhan ekonomi bisa dijadikan indikator bahwa sebuah negara terbebas dari krisis?


Mitos Ekonomi Terpisah (Decoupling Theory)

Keyakinan bahwa krisis Eropa tidak akan berdampak terhadap negara-negara Asia salah satunya didasarkan pada teori decoupling. Berdasarakan teori ini seolah-olah ekonomi Asia terpisah dari ekonomi Eropa dan AS. Padahal dalam perekonomian global, dengan tatanan ekonomi kapitalis sebagai fondasi perekonomian, sangat sulit bagi sebuah negara untuk bisa terbebas dari krisis baik pengaruh eksternal seperti kondisi negara lain maupun faktor internal dari sistem ekonomi kapitalis itu sendiri. Fakta menunjukkan, ketika terjadi kejatuhan Wall Street di Amerika Serikat, terjadi penurunan sebesar 70% dalam indeks komposit Shanghai dari puncaknya pada Oktober 2007, kegagalan pelelangan surat hutang Filipina dan juga di Indonesia, tekanan yang memurukkan mata uang Asia yang bervariasi dari rupiah Indonesia, won Korea, baht Thailand, dong Vietnam dan rupee India. Ini hanyalah segelintir sorotan tentang hancurnya “teori keterpisahan” (decoupling theory).

Begitu juga berita tentang penolakan bantuan dana (bailout) oleh Kongres AS yang membuat pasar-pasar saham Asia merosot, dengan Nikkei 225 Jepang turun lebih dari 4 persen. Ketika bank-bank besar AS beruntuhan, para nasabah yang cemas mengantri di luar East Asia Bank—bank ketiga terbesar di Hongkong dengan aset $51 milyar—untuk menarik simpanan mereka. Kepanikan tersebut dipicu oleh desas-desus dari pesan-teks bahwa bank tersebut dalam kesulitan. Para nasabah yang mengantri mengatakan bahwa setelah kejatuhan Lehman Brothers mereka tidak lagi mempercayai institusi keuangan mana pun (Sumber: nefos.org, Reihana Mohideen: Krisis Finansial Global: Dampaknya Terhadap Asia).


Ironi Pertumbuhan

Sinyal pengaruh krisis Eropa terhadap Asia sudah tampak ketika melemahnya pertumbuhan ekonomi Asia. Dampak krisis Eropa ini membuat Morgan Stanley memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara Asia: Cina menurun menjadi 8,4% dibandingkan proyeksi sebelumnya 8,7%; India diprediksi tumbuh 6,9% dari proyeksi semula 7,4%; dan Indonesia tumbuh 5,6% dibandingkan proyeksi sebelumnya 5,8%. Secara keseluruhan pertumbuhan kawasan Asia pada tahun 2012 menjadi sebesar 6,9%. Angka proyeksi tersebut lebih rendah dari sebelumnya yang sebesar 7,3%. Ini adalah kedua kalinya dalam tiga bulan Morgan Stanley memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia, alasannya karena meningkatnya risiko krisis utang. Demikian pernyataan dari Morgan Stanley seperti dikutip dari AFP, Senin (28/11/2011).

Walaupun perekonomian masih tumbuh tidak berarti terlepas dari krisis, seperti yang disampaikan mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim ketika menyampaikan pidato kebudayaan di Jakarta (30/1/2012). Ia menganjurkan agar pembangunan ekonomi tidak disandarkan pada angka-angka makro saja. Anwar Ibrahim punya pengalaman pahit soal angka-angka ekonomi yang fantastis itu. Saat dirinya menjabat Menteri Keuangan, sekitar tahun 1990-an, seorang pejabat perencanaan pembangunan (mirip Bappenas di Indonesia) member dia laporan perkembangan ekonomi dan pertumbuhan yang fantatis. Intinya, ekonomi Malaysia saat itu sukses besar. Lalu tanpa disangka, sebuah kejadian mengharuskan Anwar mendatangi seseorang yang tidak jauh dari kantornya. Di situlah, dengan mata kepalanya sendiri, Anwar melihat realitas lain: jalan berlubang, parit tidak terurus, rumah rakyat yang tidak layak, dan perkampungan penduduk yang sangat miskin. Ia menemukan kenyataan yang tidak dia temukan dalam angka-angka fantastis.

Begitu juga Indonesia Tahun 2011. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat fantastis: 6,5%. Angka itu menempatkan kekuatan ekonomi Indonesia di urutan ketiga Asia. Selain itu, pemerintah juga dianggap sukses menekan angka kemiskinan hingga 12,3%, dan pengangguran berhasil diturunkan hingga 6,6%. Anehnya, ketika angka pertumbuhan ekonomi menukik naik, indeks pembangunan manusia Indonesia justru terjun bebas. Pada tahun 2011, menurut laporan PBB, indeks pembangunan manusia Indonesia jatuh dari peringkat 108 menjadi 124. Realitas lain memperlihatkan: PHK massal, sektor informal berkembang pesat, usaha menengah dan kecil gulung tikar, biaya kebutuhan hidup semakin tinggi, dan daya beli rakyat semakin menurun. Rasio gini Indonesia pada 2007 dan 2010 mencapai rekor tertinggi: 0,38. Artinya, kesenjangan yang kaya dan miskin makin lebar. (Sumber: http://www.berdikarionline.com).


2012: Krisis Makin Parah

Tahun 2012 dampak krisis ekonomi akan lebih hebat menimpa kawasan Asia dibandingkan dengan yang terjadi tahun 2011. Tiga negara besar di kawasan Asia seperti Cina, Jepang dan India sudah mulai digerogoti krisis keuangan dunia ini. Imbas krisis Eropa ini akan masuk melalui dua jalur, yakni sektor perdagangan dan finansial. Pada sektor perdagangan, krisis di Uni Eropa dan Amerika mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat tersebut sehingga memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekspor, baik ekspor negara berkembang maupun negara maju, khususnya negara-negara Asia yang memiliki keterikatan perdagangan yang besar dengan negara-negara Uni Eropa dan Amerika. Seperti Cina, ekspornya diperkirakan turun 17 persen jadi US$ 150 juta, produksi manufaktur India turun 5,1 persen dan indeks manufaktur Jepang turung 4 persen pada Desember 2011. Perusahaan-perusahaan Jepang seperti Sony dan perusahan mobil akan mengalami penurunan karena Eropa dan Amerika merupakan salah satu pasar produk mereka. Hal yang sama akan dihadapi perusahaan-perusahaan dari Korea Selatan. Adapun Indonesia akan mengalami penurunan ekspor 20-30%. Faktor lain dari sektor perdagangan adalah meningkatnya arus barang impor dari negara-negara lain yang selama ini menjadikan Eropa dan Amerika sebagai pasar impornya, termasuk akan meningkatnya impor domestik di antara sesama negara Asia. Saat ini saja serbuan barang impor terutama dari Cina telah menyebabkan banyak industri kecil dan menegah di Indonesia yang gulung tikar. Sebagai contoh di sektor industri baja, Daya serap sektor ini hanya sekitar 40% karena 60%-nya merupakan produk impor. Tentu kondisi ini cukup mengkhawatirkan sebab Indonesia telah memproduksi barang sejenis.

Adapun krisis Uni Eropa dan Amerika yang masuk melalui sektor finansial adalah dengan semakin tingginya fluktuasi arus modal asing yang masuk dan keluar ke negara-negara Asia. Masuknya modal asing ke negara-negara Asia akibat krisis Eropa akan menyebabkan terjadinya apresiasi pada mata uang di Asia, khususnya Indonesia. Akibatnya, tentu daya saing ekspor produk-produk Asia dan produk-produk Indonesia akan berkurang. Sebagai contoh untuk Indonesia, dalam enam bulan terakhir ini, nilai tukar rupiah mengalami peningkatan kurang-lebih 5 persen. Ini berarti para eksportir di Indonesia mulai berteriak. Mereka mengatakan, daya saing produk ekpornya semakin berkurang. Sebaliknya, impor semakin banyak. Pasalnya, dengan peningkatan nilai rupiah maka produk-produk impor menjadi lebih murah.

Masuknya modal asing melalui pasar modal sebenarnya sudah mulai terasa dalam beberapa tahun belakangan ini. Menurut data BI selama 2 tahun terakhir sebanyak Rp 400 trilyun dana asing masuk ke Indonesia. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi. Namun, investasi yang masuk ini sebagian besar melalui asset finansial dalam bentuk pembeliaan saham, obligasi dan surat utang lainnya. Bentuk investasi seperti ini sangat riskan mengalami out flow (penarikan dana) dengan cepat sehingga akan meningkatkan risiko krisis akibat penarikan dana besar-besaran oleh investor asing yang menyebabkan melemahnya nilai mata uang negara yang bersangkutan.

Krisis keuangan Uni Eropa dan Amerika juga mengakibatkan bank-bank di Eropa kesulitan likuiditas sehingga menyebabkan terjadinya penurunan pinjaman internasional bagi para importir dan eksportir dari negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Akibatnya, impor dan ekspor akan tersendat juga karena pembeli tidak mungkin dapat membayar pembelian dengan segera dan eksportir tidak akan merasa nyaman mengirimkan barangnya karena adanya ketidakpastian dalam pembayaran. Hal inilah yang dilakukan oleh salah satu bank di Prancis. Bank ini akan melakukan pengurangan pinjaman untuk kepentingan impor atau kredit ekspor. Adapun Jerman Commerzbank akan menarik kembali semua pinjaman yang ada di luar Jerman dan Polandia.


Sistem Ekonomi Islam Kebal Krisis

Terlepas dari faktor eksternal yaitu krisis Eropa dan Amerika, sebenarnya potensi terbesar krisis di negara-negara Asia—seperti halnya juga negara kapitalis lainnya—adalah faktor internal substansial dari sistem ekonomi kapitalis. Di antaranya adalah: penggunaan mata uang yang tidak berbasis emas dan perak melalui pengembangan sektor ekonomi non riil (pasar modal dan lembaga keuangan ribawi) yang menjadikan bubble economic (Ekonomi Balon) serta kebebasan hak milik yang menyebabkan monopoli. Inilah sebenarnya akar permasalah krisis global yang menimpa dunia. Karena itulah walaupun terjadi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ini tidak memiliki dampak terhadap kesejahteraan rakyat. Meski kinerja ekonomi makro menunjukkan perbaikan signifikan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, mayoritas rakyat tetap miskin.

Adapun dalam sistem ekonomi Islam semua potensi internal substansial yang memicu terjadinya krisis dihilangkan. Pasalnya, dalam sistem ekonomi Islam, mata uang yang digunakan adalah mata uang berbasis emas dan perak. Islam pun mengharamkan transaksi sektor non-riil baik dalam bentuk bunga maupun pasar modal yang penuh spekulatif. Islam juga melarang monopoli barang-barang milik umum oleh swasta seperti kepemilikan barang tambang, energi, listrik, air dan hutan. Semua itu harus dikuasai oleh dan dikelola oleh negara untuk kepentingan bersama.

Karena itu krisis Uni Eropa dan Amerika Serikat harusnya semakin menyadarkan kita untuk segera meninggalkan sistem ekonomi kapitalis yang memang sudah cacat sejak lahir dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang terbukti selama berabad-abad membebaskan umat manusia dari krisis multidimensi dan memberikan kesejahteran yang luar biasa bagi umat manusia baik Muslim maupun non-Muslim. WalLahu a’lam.[]


Penulis adalah Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FPEB Universitas Pendidikan Indonesia.


hizbut-tahrir




Posting Komentar untuk "Asia, Kebal Krisis?"