Kisah Cinta Kartosoewirjo
islampos.com—DI
BALIK pasangan yang hebat ada cinta yang kuat. Mungkin itulah kalimat
yang pas bagi pasangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Dewi Siti
Kaltsum. Dua sejoli yang mengalami pasang surut dalam penegakan Darul Islam
puluhan tahun silam. Kisahnya menjadi epik bagi anak cucu Islam kelak
puluhan tahun mendatang. Iya sebuah cerita cinta dari Malangbong, Garut,
Jawa Barat, untuk cahaya Islam di bumi Indonesia.
Dewi, kembang Malangbong yang kala itu tengah mengarungi masa dewasa,
melihat sosok laki-laki yang berbeda mengetuk pintu rumahnya. “Siapa
ia?” tanya Dewi dalam hatinya. Laki-laki itu bagi Dewi tidak seperti
laki-laki pada umumnya. Kartosoewirjo pandai bicara, namun bukan gombal.
Pengetahuannya tentang Islam juga tidak datar. Orang yang mendatangi
ayahnya pasti bukan orang sembarangan.
Kala itu, Kartosoewirjo tengah menjabat Sekretaris Haji Oemar Said
Tjokroaminoto. Pada Desember 1927, Kartosoewirjo terpilih sebagai
Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia-sebelumnya masih bernama
Partij Sjarikat Islam Hindia Timoer. Sejak itu, ia banyak melakukan
perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam di seluruh Nusantara.
Dewi pun mulai tahu aktivitas Kartosoewirjo yang penuh dengan dunia
gerakan. Maklum saat itu Dewi mulai berkecimpung dalam bidang penuh
resiko tersebut. Darah pergerakan turun dari sang ayah yang terkenal
gigih melawan Belanda dengan semangat perlawanan terhadap Imperialisme
Barat.
Dewi amat terkesan dengan sikap hidup sang ayah. Pada usia delapan
tahun, ibunya sudah mengajaknya berjalan kaki belasan kilometer ke
Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Dan itu
amat membekas dalam hatinya.
Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan
memelopori pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan
penjualan padi hanya kepada pihak penjajah. Pada 1916, Belanda menembak
mati Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula
penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan, termasuk
Ardiwisastra dan santri-santrinya.
Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929, Kartosoewirjo resmi
menikahi Dewi di Malangbong. Ardiwisastra, sang mertua sendiri, sama
sekali tidak melihat sang menantu dari fisik. Akhlak dan kejujuranlah
yang tampaknya membuat Ardiwisastra menjodohkannya dengan sang putri
yang kala itu menjadi kembang desa di Malangbong.
“Apakah calon menantunya tampan atau buruk muka tidak penting,” kata
Ardiwisastra kepada Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo terbitan 1964.
Rupanya Dewi pun menyatakan hal serupa. Secara jujur, ia tidak
menjadikan wajah sebagai prasyarat pinangan sang Imam diterima, “Kalau
disebut karena cinta, Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan
jelek,” tutur Dewi lugu kepada majalah Tempo, tahun 1983.
Rupanya Dewi tidak salah pilih. Ia mengaku mendapatkan selaksa cinta
yang tinggi dari suaminya. Laki-laki soleh yang menyerahkan segala
hidupnya demi Islam. Laki-laki penuh sahaja yang dikenal sebagai biduk
kasihnya sepanjang masa. Dengarlah tuturan Dewi berikut ini:
“Aku memang tidak salah pilih. Disinilah aku mulai mengenal dan
belajar tentang sikap dan sifat suamiku. Ia ternyata seorang laki-laki
yang penuh tanggung jawab pada keluarganya dan menyayangiku. Ia tak
segan–segan memperkenalkanku, istrinya yang dari kampung dengan
kawan-kawan seperjuangannya yang terpelajar dan terhormat.
“Bahkan dua bulan setelah kami berada di Jakarta, mungkin atas
prakarsa teman-temannya, perkawinan kami dirayakan di rumah Pak
Cokroaminoto. Aku ingat benar pesta yang sederhana tapi amat mengesankan
itu ber-langsung pada tanggal 12 Zulhijjah. ”
Sebagai seorang aktivis partai dengan jabatan Sekjen PSII, hari-hari
Kartosoewirjo sangatlah sibuk. Namun demikian, kepentingan keluarga tak
pernah diabaikannya. Ia faham posisinya sebagai kepala keluarga yang
dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.
Oleh istrinya, Kartosoewirjo dikenal sebagai seorang lelaki yang
tinggi akhlaknya, santun, dan penuh kasih sayang pada anak-anaknya. Ini
pernah diutarakannya Dewi kepada Tatang Sumarsono, yang kemudian dimuat
bersambung di majalah Amanah.
Pada perkembangannya, kecintaan dan keikhlasan Dewi terhadap suaminya
betul-betul diuji saat mengarungi perjuangan. Dewi, anak kyai itu,
berkembang menjadi istri di luar pada umumnya. Jika para pribumi yang
menikah dengan Meneer Belanda biasa menikmati pesta pora beserta alunan
nada. Dewi harus ikut bergerilya menghindari kejaran tentara Indonesia.
Jika para kembang Desa memilih hidup berdiam diri atas kondisi yang
ada, bersama suami, Dewi malah keluar-masuk hutan demi tegaknya Syariat
Islam di bumi Nusantara. Dewi sudah menasbihkan diri untuk bertahan
diliputi rasa takut semata-mata pengabdian besar seorang istri terhadap
sang suami.
Lantas, apakah kunci yang membuat Dewi bisa mempertahankan cintanya
kepada Kartosoewirjo meski hidup dan mati adalah dua kata yang dekat
kepadanya? Yang mau hidup penuh kesederhanaan walau sang ayah terkenal
sebagai ningrat di Jawa Barat? Adalah pendidikan agama, kunci kekuatan
Dewi untuk tidak mengeluh dan tetap sabar meski hidup penuh
kesederhanaan.
“Akibatnya, kami memang tak punya rumah tetap, pindah dari rumah sewa
ke rumah sewa lainnya. Tapi aku sendiri tidak mengeluh. Sebagai istri
yang mendapat pendidikan agama cukup lekat dari orangtua, kuterima
segalanya dengan rasa syukur. Karena itulah, boleh jadi kehidupan
keluarga kami berjalan tenang, kalau tidak dikatakan bahagia,” aku Dewi.
Bersama Kartoesowirjo, Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya
meninggal. Tiga anak terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono,
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang
tertembak dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo
Muhammad Darda, Rochmat (meninggal pada usia 10 tahun karena sakit),
Sholeh yang meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat
bayi), Tjutju yang lumpuh, dan Danti.
Sebagai perempuan, Dewi mulanya takut hidup di hutan. Kala itu Dewi
sudah menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir
tentang masa depan anak-anaknya. Gurat kesedihan mulai timbul dalam
sekat wajahnya meratapi impian tak sesuai kenyataan. Namun, sosok
Kartosoewirjo lah yang setia berada disampingnya, untuk menghibur,
meyakinkan, dan “menggenggam kuat jemari di tangannya”. Dan Dewi
langsung merasa tenteram.
Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di
hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di
Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak
akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu tahun mendatang. Dewi
menitikkan air mata. Kartosoewirjo, yang mencoba tabah, akhirnya
meleleh. Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.
Betapa besar cinta Kartosoewirjo kepada istrinya. Ia menangis di
depan istrinya, bukan ia kalah terhadap rezim sekuler yang mencoba
membunuhnya, bukan jua menyesal atas perjuangannya yang meski meminta
taruhan nyawa, namun air mata itu adalah bukti cinta Kartosoewirjo yang
besar kepada sang istri, ya kembang Malangbong yang senantiasa
menemaninya meski hidup penuh onak dan duri.
Air mata Dewi semakin jatuh. Ia menangis sejadi-jadinya. Rasa bangga
bercampur haru meliputi hatinya memiliki sosok suami seperti
Kartosoewirjo yang tetap meyakinkannya tentang arti cinta sebenarnya:
Cinta kepada Allahuta’ala, karena dunia hanyalah persinggahan sementara.
Cinta mereka akhirnya harus usai. Mereka dipisahkan oleh timah panas
ketika aparat keamanan menangkap Kartosoewirjo setelah melalui perburuan
panjang di wilayah Gunung Rakutak, Jawa Barat dan menghukum matinya
pada September 1962.
Dewi pun menyusul cinta sejatinya itu pada tahun 1998. Lahir pada
1913, ia wafat dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi
adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal
Keraton Sumedang, Jawa Barat.
Namun pepatah “cinta sejati akan dibawa sampai mati” memang betul
adanya. Di pemakaman ini Kartosoewirjo masih memendam cinta, cintanya
kepada sang istri yang telah menemaninya puluhan tahun baik suka maupun
duka. “Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong,” kata
Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo.
Inilah kisah cinta sejati yang tertutup di tengah pemberitaan miring
tentang NII pasca dibonceng oleh gerakan NII KW IX. Semoga Allah
mempertemukan mereka kembali di jannah kelak. [pizaro/islampos]
Posting Komentar untuk "Kisah Cinta Kartosoewirjo"