Jiwa Yang Tenang (Tafsir QS al-Fajr [89]: 27-30)
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً
مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke
dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).
Dalam ayat-ayat sebelumnya dijelaskan tentang celaan dan ancaman
terhadap para pelaku maksiat. Ancaman itu benar-benar akan menjadi
kenyataan ketika datang Hari Kiamat. Mereka harus menerima siksaan yang
amat dahsyat. Demikian dahsyatnya hingga tidak satu pun siksaan manusia
di dunia yang menyamainya. Mereka pun menyesali perbuatan mereka. Namun,
penyesalan itu sudah terlambat sehingga tidak bermanfaat sama sekali
bagi mereka.
Kemudian dalam ayat ini diberitakan tentang adanya golongan lain dari
kalangan manusia. Mereka tidak termasuk yang ditimpa siksaan tiada tara
itu. Mereka justru mendapat kabar gembira dan dimasukkan ke dalam
surga-Nya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Yâ ayyatuhâ an-nafsu al-muthmainnah (Hai jiwa yang tenang). Ayat ini memberitakan tentang pemanggilan an-nafs al-muthmainnah. Kata an-nafs bisa digunakan untuk menyebut zat (benda) secara keseluruhan (lihat: QS al-Zumar [39]: 56; QS al-An’am [6]: 151);[1] bisa juga untuk menyebut ruh (lihat: QS al-An’am [6]: 93).[2]
Adapun kata al-muthmainnah merupakan ism al-fâ’il dari al-thuma’nînah wa al-ithmi’nân. Secara bahasa, kata al-thuma’nînah berarti as-sukûn (diam, tenang, tidak bergerak).[3] Dijelaskan juga oleh al-Asfahani, kata tersebut berarti as-sukûn ba’da al-inzi’âj (tenang setelah gelisah atau cemas).[4] Menurut at-Tunisi, kata ithma’anna digunakan ketika hâdi[an] ghayra mudhtharib wa lâ munza’ij (tenang,
tidak cemas dan tidak gelisah). Kata itu juga bisa juga digunakan untuk
menunjuk ketenangan jiwa karena membenarkan apa yang dalam al-Quran
tanpa ada keraguan dan kebimbangan. Oleh karena itu, penyebutan tersebut
merupakan pujian atas jiwa tersebut. Bisa pula, ketenangan jiwa
tersebut tanpa takut dan fitnah di akhirat.[5]
Siapa yang dimaksud dengan orang yang berjiwa tenang dalam ayat ini? Ada beberapa penjelasan. Menurut Ibnu Abbas, dia adalah al-muthmainnah bi tsawâbil-Lâh (jiwa yang tenteram dengan pahala Allah); juga bermakna jiwa yang mukmin.[6] Al-Hasan menafsirkannya sebagai al-mu’minah al-mûqînah (jiwa yang mukmin dan yakin). Athiyah berpendapat, ia adalah jiwa yang ridha terhadap qadha Allah.[7]
Dikemukakan al-Khazin, yang dimaksud dengannya adalah jiwa yang teguh
di atas iman dan keyakinan, membenarkan apa yang difirmankan Allah SWT,
meyakini Allah SWT sebagai Tuhannya, serta tunduk dan taat terhadap
perintah-Nya.[8]
Ibnu Jarir ath-Thabari memaknainya sebagai orang yang tenteram dengan
janji Allah SWT yang disampaikan kepada ahli iman di dunia berupa
kemuliaan bagi dirinya di akhirat, kemudian dia membenarkan janji itu.[9] Abu Hayyan al-Andalusi menyatakan, al-muthmainah adalah al-âminah (orang
yang aman dan tenteram) tidak diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran;
atau tenteram dengan kebenaran dan tidak dicampuri dengan keraguan.[10]
Diterangkan Fakhruddin ar-Razi, al-itmi’nân berarti al-istiqrâr wa ats-tsabbât (kekokohan dan keteguhan). Bentuk keteguhan itu ada beberapa. Pertama: meyakini kebenaran dengan pasti (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 260).
Kedua: an-nafs al-âminah (jiwa yang aman dan tenteram) tidak bercampur dengan ketakutan dan kekhawatiran (Lihat: QS Fushilat [41]: 30).
Jika diperhatikan, sekalipun menggunakan redaksional yang
berbeda-beda, sesungguhnya obyek yang ditunjuk tidak berbeda, yakni
orang Mukmin yang taat dan ikhlas. Ini juga ditegaskan oleh al-Qurthubi,
bahwa yang benar adalah jiwa tersebut bersifat umum mencakup semua
jiwa yang mukmin, muklish dan taat.[11]
Kepada jiwa yang tenang itu diserukan: Irji’î ilâ Rabbika râdhiyah mardhiyyah (kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai). Jiwa itu dipanggil untuk kembali kepada Rabbiki. Yang dimaksud dengan Rabbiki di sini adalah Allah SWT.[12] Digunakan kata Rabbiki, menurut al-Alusi, untuk menambah kelembutan.[13] Di-mudhâf-kan kepada dhamîr an-nafs al-mukhâthah—yakni kata ganti orang kedua yang menunjuk pada an-nafs—berguna sebagai tasyrîf[an] lahu (untuk memuliakannya).[14] Menurut Ibnu Zaid, perkataan ini disampaikan ketika mati dan keluarnya ruh dari jasad seorang Mukmin di dunia.[15] Dari Said berkata, “Saya membaca ayat ini (Yâ ayyatuhâ an-nafsu al-muthmainnah; Irji’î ilâ Rabbiki râdhiyah mardhiyyah) di samping Rasulullah saw., lalu Abu Bakar ra. berkata, “Sungguh ini sesuatu yang bagus.” Kamudian Rasulullah saw. bersabda:
أما إنَّ المَلَكَ سَيَقُولُهَا لَكَ عِنْدَ المَوتِ
Adapun sesungguhnya malaikat akan mengatakan itu kepadamu ketika mati (HR ath-Thabari).[16]
Ada juga yang menafsirkan Rabbiki di sini adalah jasadnya. Artinya, an-nafs dimaknai sebagai ar-rûh lalu
dikembalikan pada jasadnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah
Ibnu ‘Abbas, Ikrimah dan ‘Atha`; juga ath-Thabari dan al-Qurthubi.[17] Menurut ath-Thabari, perkataan itu disampaikan pada Hari Kebangkitan. Dalilnya adalah kalimat berikutnya: Fa [i]dkhulî fî ‘ibâdî Wa [id]khulî jannatî.[18]
Disebutkan bahwa jiwa tersebut kembali dalam keadaan râdhiyat[an] mardhiyyat[an]. Kata râdhiyah berarti râdhiyah bimâ ûtiyatihi (jiwa itu puas dengan apa yang diberikan kepadanya). Adapun mardhiyyah berarti mardhiyyah ‘indal-Lâh bi ‘amalika (jiwa itu diridhai di sisi Allah dengan amal kalian).[19]
Dengan kata lain, jiwa tersebut ridha kepada Allah beserta kemuliaan
yang diberikan kepadanya berupa pahala dan Allah pun ridha terhadap jiwa
itu.[20]
Kemudian dikatakan kepadanya: Fa [i]dkhulî fî ‘ibâdî (lalu masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku). Seruan ini berarti: Masuklah ke dalam kumpulan hamba-Ku yang shalih dan bergabunglah bersama mereka. Sebab, maksud ibâdî (para hamba-Ku) sebagaimana dijelaskan mufassir adalah ibâdî ash-shâlihîn, para
hamba-Ku yang shalih. Di antara yang mengatakan demikian adalah
Qatadah, al-Qurthubi, al-Khazin, Abu Hayyan, as-Samarqandi, al-Jazairi,
dan lain-lain.[21] Menurut al-Qurthubi, ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُدْخِلَنَّهُمْ فِي الصَّالِحِينَ ﴿٩﴾
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih benar-benar akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang-orang yang salih (QS al-Ankabut [29]: 9).
Kemudian dikatakan pula kepadanya: Wa [id]khulî jannatî (dan
masuklah ke dalam surga-Ku). Mereka juga dipersilakan masuk ke dalam
surga-Nya. Mereka menjadi penghuninya yang kekal dan abadi. Mereka
benar-benar mendapatkan apa yang dijanjikan Allah SWT, yakni surga yang
di dalamnya terdapat segala yang disenangi manusia. Allah SWT berfirman:
فِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ ۖ وَأَنتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿٧١﴾
Di dalam surga itu terdapat segala yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya (QS az-Zukhruf [43]: 71).
Itulah sebaik-baik tempat kembali. Semua karunia itu diberikan
kepada mereka sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan selama di
dunia.
Keberuntungan Jiwa yang Tenang
Ayat-ayat ini adalah di antara ayat yang memberitakan kabar gembira
kepada orang-orang Mukmin dan beramal shalih yang tetap istiqamah hingga
akhir hayatnya. Sebagaimana dipaparkan di muka, merekalah yang
mendapatkan kehormatan berupa sebutan: an-nafs al-muthaminnah.
Sebutan tersebut benar-benar sesuai dengan keadaan dan realitas
mereka, terutama pada Hari Kiamat kelak. Pada saat orang-orang kafir dan
para pelaku kemaksiatan merasakan ketakutakan luar biasa ketika
datangnya Hari Kiamat yang memang mengerikan, mereka justru dijamin
keamanannya. Mereka tidak perlu takut dan khawatir. Bahkan mereka
dipanggil dengan panggilan yang amat lembut: Yâ ayyatuhâ an-nafs al-muthaminnah (Wahai jiwa yang tenang lagi tenteram).
Ketika orang-orang kafir dan pelaku maksiat menerima azab tiada tara
di neraka, mereka dijauhkan dari siksa yang amat dahsyat itu. Mereka pun
dipanggil untuk bergabung bersama dengan para hamba Allah SWT yang
shalih lainnya. Mereka adalah sebaik-baik teman sebagaimana ditegaskan
dalam firman-Nya:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ
أُولَٰئِكَ رَفِيقًا ﴿٦٩﴾
Siapa saja yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: para nabi, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang salih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS an-Nisa’ [4]: 69).
Mereka juga dipersilakan memasuki surga-Nya yang penuh dengan
kenikmatan. Mereka pun amat puas terhadap semua karunia Allah SWT itu.
Allah SWT juga ridha terhadap mereka. Itulah balasan untuk mereka atas
keimanan dan amal shalih mereka. Ini sebagaimana diberitakan dalam
firman Allah SWT:
جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ
تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَّضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ ﴿٨﴾
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah Surga ‘Adn yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
kepada-Nya. Itulah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS al-Bayyinah [98]: 8).
Mereka adalah orang-orang yang beruntung. Balasan yang yang mereka
terima jauh lebih besar daripada yang mereka korbankan. Sewaktu di
dunia, mereka memang harus bersusah-payah menjaga keimanan dan
memperbanyak amal shalih. Mereka harus berjuang keras mengekang hawa
nafsunya dan menahan diri tidak mengumbar kesenangannya. Mereka juga
harus bersabar menjalani semua perintah-Nya dan menjauhi semua
laranangan-Nya. Demikian pula tatkala menghadapi berbagai godaan, cobaan
dan ujian; mereka harus tetap kokoh dan teguh. Sikap itu harus terus
dipelihara sekalipun harus menanggung penderitaan dan rasa sakit. Akan
tetapi, semua beban berat itu lenyap seketika tatkala mereka mengecap
kenikmatan surga. Demikian nikmatnya hingga seolah-olah tidak pernah
merasakan penderitaan sedikit pun.
Keadaan mereka berkebalikan dengan orang-orang kafir dan para pelaku
maksiat. Segala kesenangan yang mereka rasakan tidak sebanding dengan
dahsyatnya siksa yang harus mereka terima. Begitu dimasukkan ke dalam
neraka, semua kesenangan itu langsung sirna tak bersisa. Seolah mereka
tidak pernah mengenyam kenikmatan sedikit pun. Rasulullah saw. bersabda:
يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ
أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِى النَّارِ صَبْغَةً
ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ
بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ
النَّاسِ بُؤْسًا فِى الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ
صَبْغَةً فِى الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ
بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لاَ وَاللهِ يَا
رَبِّ مَا مَرَّ بِى بُؤُسٌ قَطُّ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
Pada Hari Kiamat akan didatangkan penduduk neraka yang paling
bahagia sewaktu di dunia. Lalu ia dicelupkan ke neraka sekali celupan,
kemudian dikatakan kepadanya, “Wahai anak Adam, adakah engkau melihat
kebaikan? Apakah engkau pernah merasakan kenikmatan?” Ia menjawab,
”Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku.” Didatangkan
pula seorang penghuni surga yang paling sengsara sewaktu di dunia, lalu
ia dicelupkan sekali celupan di surga, kemudian ia ditanya, ”Adakah
engkau merasakan penderitaan? Apakah engkau pernah merasakan
kesengsaraan?” Ia menjawab,”Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku. Aku tidak
merasakan penderitaan sedikitpun dan sama sekali belum pernah mengalami
kesengsaraan (HR Muslim dari Anas bin Malik).
Inilah gambaran besarnya kenikmatan surga dan dahsyatnya siksa
neraka. Maka sungguh beruntung orang-orang yang tidak tertipu dengan
dunia. Orang-orang yang senantiasa mengumpulkan bekal sebanyak-banyak
menyongsong kehidupan akhirat yang abadi. Merekalah orang-orang beriman
dan memenuhi kehidupannya dengan catatan amal shalih. Semoga kita
termasuk di dalamnya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
[1] Muhammad Thahir al-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr , vol. 3 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 342.
[2] Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 868.
[3] Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 13 (Beirut: Dar Shadir, tt), 268.
[4] Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, 534.
[7] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur`ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 253.
[8] Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H).
[9] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur`ân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 1420 H), 423.
[10] Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 476.
[13] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 20 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 347.
[16] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur`ân, vol. 24, 424.
[17] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur`ân, vol. 24, 425; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, 20, 58.
[18] Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 72.
[20] As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: al-Risalah, 2000), 924.
[21] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 423; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, 20, 59; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 427; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 10, 477; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 ( ); al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Makyabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 571.
Posting Komentar untuk "Jiwa Yang Tenang (Tafsir QS al-Fajr [89]: 27-30)"