Kesalahan Logika Idrus Ramli, ke 2 dari 17
MEMBENTURKAN PEMIKIRAN SYAIKH TAQIYYUDDIN AN-NABHANI DENGAN PEMIKIRAN ULAMA YANG LAIN,
BAHKAN DENGAN PEMIKIRAN IDRUS RAMLI SENDIRI
Kesalahan Idrus Ramli kedua ini adalah lahir dari kesalahannya yang pertama, yaitu kesalahan dalam memahami dan menghukumi fakta Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sebagai mujtahid mutlak, dimana Idrus Ramli telah menuduh beliau sebagai orang bodoh yang tidak lulus studinya di Universitas Al Azhar, dan seterusnya. Lalu berangkat dari kesalahan tersebut, Idrus Ramli membentur-benturkan pemikiran (baik berupa ide maupun metode, baik hukum, sistem, UUD maupun undang-undang yang lain bagi negara khilafah) Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang dianggap pemikiran bodoh dan salah dengan pemikiran ulama yang lain yang dianggap pemikiran cerdas dan benar. Bahkan dibenturkan dengan pemikiran Idrus Ramli sendiri. Akibatnya Idrus Ramli selalu menganggap sering dan sesat terhadap pemikiran Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, ketika tidak sama atau kontradiksi (menurut logika Idrus Ramli) dengan pemikiran ulama yang lain, atau dengan pemikiran Idrus Ramli sendiri yang penuh rekayasa, dusta, provokasi dan fitnah terhadap Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir. Dan sebagian contohnya perhatikan berbagai perkataan Idrus Ramli sebagai berikut:
“Berikut ini akan kami paparkan beberapa aspek keekstreman al-Nabhani di atas. Pertama, menurut versi al-Nabhani, kewajiban mengangkat seorang khalifah merupakan kewajiban mutlak yang tidak tergantung dengan mampu atau tidaknya kaum Muslim untuk melakukannya. Hal ini berbeda dengan pandangan para ulama yang membatasi wajibnya mengangkat seorang imam dengan syarat memiliki kemampuan dan kemumgkinan untuk melakukannya…”. (Jurus Ampuh Membungkam HTI, hal. 42-43).
“Kedua, al-Nabhani mengeluarkan pernyataan lebih ekstrem lagi dengan mengatakan, bahwa apabila seluruh umat Islam sepakat untuk tidak memperjuangkan khilafah, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia menanggung dosa besa. Tentu saja pendapat yang sangat radikal ini berbeda dengan pendapat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang mengatakan bahwa ketika umat Islam tidak berupaya mengangkat seorang khalifah, maka yang berdosa hanya dua kelompok, yaitu 1) ahlul halli wal ‘aqdi, dan 2) mereka yang layak menjadi imam…”. (Ibid, hal. 46-47).
“Ketiga, pernyataan al-Nabhani bahwa tidak ikut andil dalam perjuangan terangkatnya seorang khalifah termasuk dosa terbesar, merupakan fatwa yang salah fatal, belum pernah difatwakan oleh ulama manapun…”. (Ibid, hal. 48).
“Pernyataan Imam al-Haramain di atas memberikan kesimpulan bahwa ketika umat Islam tidak memiliki pemimpin tunggal yang memiliki kekuatan, kompetensi dan kapabilitas, maka umat Islam diharuskan kembali kepada para ulama dalam berbagai urusan dan persoalan. Imam Haramain tidak menganggap berdosa terhadap seluruh umat Islam karena tidak memiliki khalifah, apabila perkembangan zaman memang tidak memungkinkan”. (Ibid, hal. 55).
“Seandainya, ketika umat Islam tidak memiliki seorang khalifah, lalu semua umat Islam akan menanggung dosa terbesar, tentu Nabi SAW akan menjawab: “Umatku akan menanggung dosa terbesar semuanya, dan harus segera berjuang untuk mengangkat seorang khalifah, dan yang tidak ikut andil dalam perjuangan tersebut, berarti menanggung dosa terbesar.” Akan tetapi jawaban seperti ini tidak diberikan oleh Nabi SAW. Hal ini menjadi bukti bahwa fatwa al-Nabhani hanya isapan jempol belaka, bertentangan dengan hadits shahih dan bagian dari kecerobohan dalam berfatwa tanpa ilmu”. (Ibid, hal. 52).
“Keempat, al-Nabhani ketika mengomentari hadits Hudzaifgah di atas, mengatakan bahwa hadits tersebut tidak memberikan pengertian bahwa umat Islam tidak perlu lagi berupaya untuk memperjuangkan khilafah. Karena menurut al-Nabhani, fokus bahasan hadits tersebut adalah perintah untuk menjauhi aliran-aliran sesat. Tentu saja pandangan al-Nabhani tersebut keliru dan termasuk upaya istidrak (meralat) terhadap penjelasan syari’ (Nabi SAW yang membawa syariat), dan hukumnya jelas tidak boleh”. (Ibid, hal. 52). Dll.
Padahal dengan memahami dan menghukumi terhadap fakta Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dengan benar, yaitu dengan memposisikan, mengakui atau meneguhkannya sebagai mujtahid mutlak, maka Idrus Ramli tidak akan terjatuh ke dalam kesalahan yang bertumpuk-tumpuk dan berlipat ganda.
Ketika kita telah memposisikan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sebagai mujtahid mutlak, maka pemikiran beliau adalah bagian dari pemikiran islami yang harus diposisikan sebagaimana pemikiran islami produk ulama mujtahid mutlak yang lain. Kita sebagai muslim yang baik boleh menentukan sikap atas pemikiran para ulama mujtahid dengan; 1) mengambil atau mengadopsinya, dan 2) membiarkan atau menolaknya, sebagaimana perkataan Imam Malik sebagai berikut;
وقال الإمام مالك: ليس من أحد إلا يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Imam Malik rh berkata: “Tidak ada seorang pun, kecuali pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan, kecuali Rasululloh SAW (perkataannya harus diambil)”.
وروي البيهقي عن مجاهد وعطاء أنهما كانا يقولان: ما من أحد إلا ومأخوذ من كلامه ومردود عليه إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Dan Imam Baihaqi meriwayatkan dari Imam Mujahid dan Imam ‘Atha, bahwa keduanya pernah berkata: “Tidak ada seorang pun, kecuali perkataannya boleh diambil dan ditolak, kecuali Rasulullah SAW (perkataannya harus diambil)”.
Kita tidak boleh menyalahkan, menyesatkan dan membentur-benturkan pemikiran produk ulama mujtahid yang satu dengan pemikiran produk ulama mujtahid yang lain. Karena ketika hal ini terjadi, maka pemikiran semua ulama mujtahid itu salah dan sesat dan tidak ada satupun yang benar. Pemikiran ulama A salah dan sesat karena tidak sama dengan pemikiran ulama B, pemikiran ulama B salah dan sesat karena tidak sama dengan pemikiran ulama C, pemikiran ulama C salah dan sesat karena tidak sama dengan pemikiran ulama D, pemikiran ulama D salah dan sesat karena tidak sama dengan pemikiran ulama E, dan seterusnya. Maka yang terjadi hanyalah kekacauan pemikiran. Inilah yang sedang dipraktekkan oleh Idrus Ramli.
Padahal meskipun kita tidak mengambil atau mengadopsinya, kita harus menghormati pemikiran semua ulama mujtahid, selagi masih berupa pemikiran islami yang bersandar kepada dalil-dalil islami. Kecuali ketika pemikiran tersebut sudah tidak islami lagi dan tidak pula bersandar kepada dalil-dalil islami, kecuali hanya rekayasa dan pemaksaan kehendak atas dalil islami. Padahal sejatinya hanya untuk mengokohkan kekufuran. Sebagaimana pemaksaan kehendak yang diperankan oleh kaum liberal atas dalil islami, untuk mengokohkan akidah sekularisme dan ideologi kaptalisme dengan seperangkat pemikiran, hukum dan sistemnya. Maka terhadap pemikiran kaum liberal yang tidak islami kita wajib menyalahkan, menyesatkan dan menolaknya.
Pemikiran islami produk ulama mujtahid yang satu tidak bisa membatalkan pemikiran islami produk ulama mujtahid yang lain, dalam hal ini ulama Aswaja telah merumuskan kaedah sebagai berikut:
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
“Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad”. (Lihat: al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, 1/101, dan Ibnu Najim, al-Asybah wa al-Nazhair, 1/105. Maktabah Syamilah).
As-Suyuthi berkata:
القاعدة الأولى الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد الأصل في ذلك إجماع الصحابة رضي الله عنهم نقله ابن الصباغ وأن أبا بكر حكم في مسائل خالفه عمر فيها ولم ينقض حكمه وحكم عمر في المشركة بعدم المشاركة ثم بالمشاركة وقال ذلك على ما قضينا وهذا على ما قضينا وقضى في الجد قضايا مختلفة وعلته أنه ليس الاجتهاد الثاني بأقوى من الأول فإنه يؤدي إلى أنه لا يستقر حكم وفي ذلك مشقة شديدة فإنه إذا نقض هذا الحكم نقض ذلك النقض وهلم جرا ومن فروع ذلك لو تغير اجتهاده في القبلة عمل بالثاني ولا قضاء حتى لو صلى أربع ركعات لأربع جهات بالاجتهاد فلا قضاء…
“Kaedah pertama, “Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad”. Pangkal (dalil) kaedah tersebut adalah Ijmak Shahabat RA, sebagaimana telah dikutip oleh al-Shabagh. Dan bahwa Abu Bakar telah memutuskan hukum dalam banyak masalah dimana Umar menyalahinya pada putusan hukum tersebut, dan Umar tidak membatalkan putusan hukum Abu Bakar. Dan Umar telah memutuskan hukum terkait perempuan musyrik dengan tidak adanya musyarokah kemudian memutuskan dengan musyarokah. Umar berkata: “Itu sesuai dengan keputusan hukum kami, dan ini sesuai dengan keputusan hukum kami”. Dan Umar telah memutuskan hukum terkait kakek dengan hukum-hukum yang berbeda. Penyebabnya, bahwa ijtihad yang kedua itu tidak lebih kuat dari ijtihad yang pertama, supaya tidak terjadi penetapan hukum yang mengandung kesulitan berat. Karena ketika hukum ini dibatalkan, maka hukum itu juga dibatalkan, dan seterusnya akan terjadi saling membatalkan. Sebagian cabang-cabangnya, ketika ijtihadnya terkait kiblat itu berubah, maka ijtihad yang kedua harus diamalkan dan tidak ada qadla, meskipun ia shalat empat rakaat menghadap empat kiblat dengan ijtihad yang berbeda, maka tidak ada qadla…”. Sebagaimana juga telah dikemukakan oleh Ibnu Najim dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair-nya. (Ibid).
Memang, terdapat pengecualian dimana pemikiran islami (yang menyangkut keputusan hukum) dapat dibatalkan, ketika memenuhi syarat-syarat pembatalan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Suyuthi sebagai berikut:
خَاتِمَةٌ : يُنْقَضُ قَضَاءُ الْقَاضِي إذَا خَالَفَ نَصًّا ، أَوْ إجْمَاعًا ، أَوْ قِيَاسًا جَلِيًّا . قَالَ الْقَرَافِيُّ : أَوْ خَالَفَ الْقَوَاعِدَ الْكُلِّيَّةَ . قَالَ الْحَنَفِيَّةُ : أَوْ كَانَ حُكْمًا لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ ، نَقَلَهُ السُّبْكِيُّ فِي فَتَاوِيهِ … قَالَ : وَمَا خَالَفَ الْمَذَاهِبَ الْأَرْبَعَةَ ، فَهُوَ كَالْمُخَالِفِ لِلْإِجْمَاعِ قَالَ : وَإِنَّمَا يَنْقُضُ حُكْمَ الْحَاكِم لِتَبَيُّنِ خَطَئِهِ ،… وَفِي هَذِهِ الثَّلَاثَةِ يُنْقَضُ الْحُكْمُ بِمَعْنَى أَنَّا تَبَيَّنَّا بُطْلَانَهُ …
“Terakhir: Keputusan hakim itu dibatalkan ketika menyalahi nash, ijmak, atau qiyas jaliy. Al-Qarofi berkata: “Atau menyalahi kaidah-kaidah global”. Ulama Hanafiyah berkata: “Atau berupa hukum yang tidak memiliki dalil”. Sebagaimana telah dikutif oleh al-Subky pada kitab Fatawa-nya… Al-Subky berkata: “Hukum yang menyalahi empat madzhab itu seperti hukum yang menyalahi ijmak”. Al-Subky berkata: “Hukumnya hakim hanya dibatalkan karena kesalahanya yang jelas…”. Dalam tiga kondisi tersebut, hukum dibatalkan, dengan arti bahwa kami mendapat kejelasan terhadap kesalahannya…”. (Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, 1/193).
Sedangkan semua pemikiran Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, ketika kita menelitinya dengan benar, tanpa merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi, maka tidak menyalahi nash (baik al-Qur’an maupun Sunnah), ijmak, qiyas jally, kaidah global, maupun pemikiran empat madzhab (empat imam madzhab). Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk menyalahkan, menyesatkan dan membatalkannya. (www.syariahpublications.com)
[www.bringislam.web.id]
BAHKAN DENGAN PEMIKIRAN IDRUS RAMLI SENDIRI
Kesalahan Idrus Ramli kedua ini adalah lahir dari kesalahannya yang pertama, yaitu kesalahan dalam memahami dan menghukumi fakta Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sebagai mujtahid mutlak, dimana Idrus Ramli telah menuduh beliau sebagai orang bodoh yang tidak lulus studinya di Universitas Al Azhar, dan seterusnya. Lalu berangkat dari kesalahan tersebut, Idrus Ramli membentur-benturkan pemikiran (baik berupa ide maupun metode, baik hukum, sistem, UUD maupun undang-undang yang lain bagi negara khilafah) Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang dianggap pemikiran bodoh dan salah dengan pemikiran ulama yang lain yang dianggap pemikiran cerdas dan benar. Bahkan dibenturkan dengan pemikiran Idrus Ramli sendiri. Akibatnya Idrus Ramli selalu menganggap sering dan sesat terhadap pemikiran Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, ketika tidak sama atau kontradiksi (menurut logika Idrus Ramli) dengan pemikiran ulama yang lain, atau dengan pemikiran Idrus Ramli sendiri yang penuh rekayasa, dusta, provokasi dan fitnah terhadap Syaikh Taqiyyuddin dan Hizbut Tahrir. Dan sebagian contohnya perhatikan berbagai perkataan Idrus Ramli sebagai berikut:
“Berikut ini akan kami paparkan beberapa aspek keekstreman al-Nabhani di atas. Pertama, menurut versi al-Nabhani, kewajiban mengangkat seorang khalifah merupakan kewajiban mutlak yang tidak tergantung dengan mampu atau tidaknya kaum Muslim untuk melakukannya. Hal ini berbeda dengan pandangan para ulama yang membatasi wajibnya mengangkat seorang imam dengan syarat memiliki kemampuan dan kemumgkinan untuk melakukannya…”. (Jurus Ampuh Membungkam HTI, hal. 42-43).
“Kedua, al-Nabhani mengeluarkan pernyataan lebih ekstrem lagi dengan mengatakan, bahwa apabila seluruh umat Islam sepakat untuk tidak memperjuangkan khilafah, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia menanggung dosa besa. Tentu saja pendapat yang sangat radikal ini berbeda dengan pendapat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang mengatakan bahwa ketika umat Islam tidak berupaya mengangkat seorang khalifah, maka yang berdosa hanya dua kelompok, yaitu 1) ahlul halli wal ‘aqdi, dan 2) mereka yang layak menjadi imam…”. (Ibid, hal. 46-47).
“Ketiga, pernyataan al-Nabhani bahwa tidak ikut andil dalam perjuangan terangkatnya seorang khalifah termasuk dosa terbesar, merupakan fatwa yang salah fatal, belum pernah difatwakan oleh ulama manapun…”. (Ibid, hal. 48).
“Pernyataan Imam al-Haramain di atas memberikan kesimpulan bahwa ketika umat Islam tidak memiliki pemimpin tunggal yang memiliki kekuatan, kompetensi dan kapabilitas, maka umat Islam diharuskan kembali kepada para ulama dalam berbagai urusan dan persoalan. Imam Haramain tidak menganggap berdosa terhadap seluruh umat Islam karena tidak memiliki khalifah, apabila perkembangan zaman memang tidak memungkinkan”. (Ibid, hal. 55).
“Seandainya, ketika umat Islam tidak memiliki seorang khalifah, lalu semua umat Islam akan menanggung dosa terbesar, tentu Nabi SAW akan menjawab: “Umatku akan menanggung dosa terbesar semuanya, dan harus segera berjuang untuk mengangkat seorang khalifah, dan yang tidak ikut andil dalam perjuangan tersebut, berarti menanggung dosa terbesar.” Akan tetapi jawaban seperti ini tidak diberikan oleh Nabi SAW. Hal ini menjadi bukti bahwa fatwa al-Nabhani hanya isapan jempol belaka, bertentangan dengan hadits shahih dan bagian dari kecerobohan dalam berfatwa tanpa ilmu”. (Ibid, hal. 52).
“Keempat, al-Nabhani ketika mengomentari hadits Hudzaifgah di atas, mengatakan bahwa hadits tersebut tidak memberikan pengertian bahwa umat Islam tidak perlu lagi berupaya untuk memperjuangkan khilafah. Karena menurut al-Nabhani, fokus bahasan hadits tersebut adalah perintah untuk menjauhi aliran-aliran sesat. Tentu saja pandangan al-Nabhani tersebut keliru dan termasuk upaya istidrak (meralat) terhadap penjelasan syari’ (Nabi SAW yang membawa syariat), dan hukumnya jelas tidak boleh”. (Ibid, hal. 52). Dll.
Padahal dengan memahami dan menghukumi terhadap fakta Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dengan benar, yaitu dengan memposisikan, mengakui atau meneguhkannya sebagai mujtahid mutlak, maka Idrus Ramli tidak akan terjatuh ke dalam kesalahan yang bertumpuk-tumpuk dan berlipat ganda.
Ketika kita telah memposisikan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sebagai mujtahid mutlak, maka pemikiran beliau adalah bagian dari pemikiran islami yang harus diposisikan sebagaimana pemikiran islami produk ulama mujtahid mutlak yang lain. Kita sebagai muslim yang baik boleh menentukan sikap atas pemikiran para ulama mujtahid dengan; 1) mengambil atau mengadopsinya, dan 2) membiarkan atau menolaknya, sebagaimana perkataan Imam Malik sebagai berikut;
وقال الإمام مالك: ليس من أحد إلا يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Imam Malik rh berkata: “Tidak ada seorang pun, kecuali pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan, kecuali Rasululloh SAW (perkataannya harus diambil)”.
وروي البيهقي عن مجاهد وعطاء أنهما كانا يقولان: ما من أحد إلا ومأخوذ من كلامه ومردود عليه إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Dan Imam Baihaqi meriwayatkan dari Imam Mujahid dan Imam ‘Atha, bahwa keduanya pernah berkata: “Tidak ada seorang pun, kecuali perkataannya boleh diambil dan ditolak, kecuali Rasulullah SAW (perkataannya harus diambil)”.
Kita tidak boleh menyalahkan, menyesatkan dan membentur-benturkan pemikiran produk ulama mujtahid yang satu dengan pemikiran produk ulama mujtahid yang lain. Karena ketika hal ini terjadi, maka pemikiran semua ulama mujtahid itu salah dan sesat dan tidak ada satupun yang benar. Pemikiran ulama A salah dan sesat karena tidak sama dengan pemikiran ulama B, pemikiran ulama B salah dan sesat karena tidak sama dengan pemikiran ulama C, pemikiran ulama C salah dan sesat karena tidak sama dengan pemikiran ulama D, pemikiran ulama D salah dan sesat karena tidak sama dengan pemikiran ulama E, dan seterusnya. Maka yang terjadi hanyalah kekacauan pemikiran. Inilah yang sedang dipraktekkan oleh Idrus Ramli.
Padahal meskipun kita tidak mengambil atau mengadopsinya, kita harus menghormati pemikiran semua ulama mujtahid, selagi masih berupa pemikiran islami yang bersandar kepada dalil-dalil islami. Kecuali ketika pemikiran tersebut sudah tidak islami lagi dan tidak pula bersandar kepada dalil-dalil islami, kecuali hanya rekayasa dan pemaksaan kehendak atas dalil islami. Padahal sejatinya hanya untuk mengokohkan kekufuran. Sebagaimana pemaksaan kehendak yang diperankan oleh kaum liberal atas dalil islami, untuk mengokohkan akidah sekularisme dan ideologi kaptalisme dengan seperangkat pemikiran, hukum dan sistemnya. Maka terhadap pemikiran kaum liberal yang tidak islami kita wajib menyalahkan, menyesatkan dan menolaknya.
Pemikiran islami produk ulama mujtahid yang satu tidak bisa membatalkan pemikiran islami produk ulama mujtahid yang lain, dalam hal ini ulama Aswaja telah merumuskan kaedah sebagai berikut:
الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد
“Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad”. (Lihat: al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, 1/101, dan Ibnu Najim, al-Asybah wa al-Nazhair, 1/105. Maktabah Syamilah).
As-Suyuthi berkata:
القاعدة الأولى الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد الأصل في ذلك إجماع الصحابة رضي الله عنهم نقله ابن الصباغ وأن أبا بكر حكم في مسائل خالفه عمر فيها ولم ينقض حكمه وحكم عمر في المشركة بعدم المشاركة ثم بالمشاركة وقال ذلك على ما قضينا وهذا على ما قضينا وقضى في الجد قضايا مختلفة وعلته أنه ليس الاجتهاد الثاني بأقوى من الأول فإنه يؤدي إلى أنه لا يستقر حكم وفي ذلك مشقة شديدة فإنه إذا نقض هذا الحكم نقض ذلك النقض وهلم جرا ومن فروع ذلك لو تغير اجتهاده في القبلة عمل بالثاني ولا قضاء حتى لو صلى أربع ركعات لأربع جهات بالاجتهاد فلا قضاء…
“Kaedah pertama, “Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad”. Pangkal (dalil) kaedah tersebut adalah Ijmak Shahabat RA, sebagaimana telah dikutip oleh al-Shabagh. Dan bahwa Abu Bakar telah memutuskan hukum dalam banyak masalah dimana Umar menyalahinya pada putusan hukum tersebut, dan Umar tidak membatalkan putusan hukum Abu Bakar. Dan Umar telah memutuskan hukum terkait perempuan musyrik dengan tidak adanya musyarokah kemudian memutuskan dengan musyarokah. Umar berkata: “Itu sesuai dengan keputusan hukum kami, dan ini sesuai dengan keputusan hukum kami”. Dan Umar telah memutuskan hukum terkait kakek dengan hukum-hukum yang berbeda. Penyebabnya, bahwa ijtihad yang kedua itu tidak lebih kuat dari ijtihad yang pertama, supaya tidak terjadi penetapan hukum yang mengandung kesulitan berat. Karena ketika hukum ini dibatalkan, maka hukum itu juga dibatalkan, dan seterusnya akan terjadi saling membatalkan. Sebagian cabang-cabangnya, ketika ijtihadnya terkait kiblat itu berubah, maka ijtihad yang kedua harus diamalkan dan tidak ada qadla, meskipun ia shalat empat rakaat menghadap empat kiblat dengan ijtihad yang berbeda, maka tidak ada qadla…”. Sebagaimana juga telah dikemukakan oleh Ibnu Najim dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair-nya. (Ibid).
Memang, terdapat pengecualian dimana pemikiran islami (yang menyangkut keputusan hukum) dapat dibatalkan, ketika memenuhi syarat-syarat pembatalan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Suyuthi sebagai berikut:
خَاتِمَةٌ : يُنْقَضُ قَضَاءُ الْقَاضِي إذَا خَالَفَ نَصًّا ، أَوْ إجْمَاعًا ، أَوْ قِيَاسًا جَلِيًّا . قَالَ الْقَرَافِيُّ : أَوْ خَالَفَ الْقَوَاعِدَ الْكُلِّيَّةَ . قَالَ الْحَنَفِيَّةُ : أَوْ كَانَ حُكْمًا لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ ، نَقَلَهُ السُّبْكِيُّ فِي فَتَاوِيهِ … قَالَ : وَمَا خَالَفَ الْمَذَاهِبَ الْأَرْبَعَةَ ، فَهُوَ كَالْمُخَالِفِ لِلْإِجْمَاعِ قَالَ : وَإِنَّمَا يَنْقُضُ حُكْمَ الْحَاكِم لِتَبَيُّنِ خَطَئِهِ ،… وَفِي هَذِهِ الثَّلَاثَةِ يُنْقَضُ الْحُكْمُ بِمَعْنَى أَنَّا تَبَيَّنَّا بُطْلَانَهُ …
“Terakhir: Keputusan hakim itu dibatalkan ketika menyalahi nash, ijmak, atau qiyas jaliy. Al-Qarofi berkata: “Atau menyalahi kaidah-kaidah global”. Ulama Hanafiyah berkata: “Atau berupa hukum yang tidak memiliki dalil”. Sebagaimana telah dikutif oleh al-Subky pada kitab Fatawa-nya… Al-Subky berkata: “Hukum yang menyalahi empat madzhab itu seperti hukum yang menyalahi ijmak”. Al-Subky berkata: “Hukumnya hakim hanya dibatalkan karena kesalahanya yang jelas…”. Dalam tiga kondisi tersebut, hukum dibatalkan, dengan arti bahwa kami mendapat kejelasan terhadap kesalahannya…”. (Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, 1/193).
Sedangkan semua pemikiran Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, ketika kita menelitinya dengan benar, tanpa merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi, maka tidak menyalahi nash (baik al-Qur’an maupun Sunnah), ijmak, qiyas jally, kaidah global, maupun pemikiran empat madzhab (empat imam madzhab). Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk menyalahkan, menyesatkan dan membatalkannya. (www.syariahpublications.com)
[www.bringislam.web.id]
Posting Komentar untuk "Kesalahan Logika Idrus Ramli, ke 2 dari 17"