Demokrasi Bertentangan dengan Islam, Harus Dicampakkan!
Demokrasi modern sekarang ini, kemunculannya dijadikan
solusi atas problem dan penindasan akibat sistem monarkhi yang berlaku di Eropa.
Raja atau kaesar dianggap sebagai wakil tuhan. Semua jenis kekuasaan ada di tangannya
baik kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan yudikatif. Jadi
kekuasaan raja atau kaesar bersifat absolut. Dia berada di atas hukum dan tidak
ada yang bisa mengontrol atau mengoreksinya. Kekuasaan absolut itu akhirnya
menjadi korup dan menindas.
Untuk itulah digagas sistem demokrasi yang
menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan sumber kekuasaan. Sebagai
pemilik kedaulatan, rakyatlah yang berhak membuat hukum dan undang-undang. Karena rakyat tidak mungkin
melakukan peran ini secara langsung, maka dibuatlah sistem perwakilan
di mana rakyat
mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang
tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat untuk menjalankan kekuasaan legislatif membuat
hukum dan undang-undangan.
Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan
eksekutif.
Sebagai sumber kekuasaan, rakyatlah yang memilih penguasa
dan melimpahkan kekuasaan eksekutif kepadanya untuk menjalankan sistem, hukum,
dan undang-undang buatan rakyat dan mengurus kehidupan rakyat. Hanya orang yang
dipilih dan mendapat pelimpahan kekuasaan dari rakyat saja yang bisa menjadi
penguasa. Semua praktek itu dilakukan melalui pemilu, baik untuk memilih kepada
negara atau penguasa daerah.
Demokrasi Bertentangan dengan Islam
Demokrasi tak jarang disederhanakan sebagai pemilu
atau pemilihan penguasa oleh rakyat. Karena itu, demokrasi dianggap sejalan
dengan Islam, sebab Islam menentukan bahwa penguasa dipilih oleh rakyat. Namun
demokrasi yang hakiki itu bukan hanya pemilu atau pemilihan penguasa. Demokrasi
yang hakiki memiliki dua pilar. Pilar pertama, kedaulatan rakyat, artinya rakyatlah yang berhak membuat hukum dan
undang-undang yang digunakan negara dan pemerintah untuk mengurus rakyat. Pilar
kedua, rakyat
pemilik dan sumber kekuasaan. Artinya, rakyatlah yang memiliki hak memilih
penguasa, memonitor dan mengoreksinya dan memberhentikannya. Tanpa kedua pilar
ini sekaligus, demokrasi tidak ada.
Mengenai pilar pertama yakni kedaulatan rakyat,
demokrasi jelas bertentangan dengan Islam. Kedaulatan adalah hak membuat hukum.
Itu artinya rakyatlah yang berhak menentukan mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh; memisahkan mana kebaikan dan mana keburukan, mana yang makruf dan
mana yang mungkar, perbuatan mana yang terpuji dan mana yang tercela; dan mana
yang halal dan yang haram. Sementara, dalam Islam semua itu adalah milik Allah saja, yakni milik syara’. Allah SWT berfirman:
] إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
[
Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik. (TQS al-An’am [6]: 57)
Menyerahkan
kedaulatan kepada rakyat, yakni kepada manusia,
artinya menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia. Sementara Allah SWT justru
memerintahkan untuk mengikuti hukum Allah tanpa mengikuti hawa nafsu manusia.
] وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ ...[
Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (TQS al-Maidah [5]: 49)
Fakta
riil kehidupan demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia,
telah melahirkan berbagai kerusakan baik pada alam, manusia, maupun kehidupan
itu sendiri. Allah SWT sudah menegaskan kepada kita bahwa
mengikuti hawa nafsu manusia itu
menjadi sumber kerusakan.
] وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
وَمَنْ فِيهِنَّ [
Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. (TQS
al-Mu’minun [23]: 71)
Selain
menjadi sumber kerusakan, mengikuti hawa nafsu manusia, sebagaimana dalam demokrasi, juga tidak bisa mengantarkan pada
tujuan mulia yang ingin dicapai
setiap manusia. Sebab, Allah SWT menegaskan
bahwa mengikuti hawa nafsu manusia merupakan jalan yang paling sesat.
] وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ
[
Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan
tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. (TQS al-Qashshash [28]:50).
Menyerahkan penentuan hukum yaitu halal dan haram
kepada manusia, sama artinya merampas hak Allah dan membuat-buat kebohongan
terhadap Allah. Hal itu akan melahirkan banyak kesusahan, sebab perilaku itu
merupakan pangkal ketidakberuntungan.
] وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ
أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ
الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ [
Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah tiadalah beruntung. (TQS
an-Nahl [16]: 116)
Demokrasi
adalah menyerahkan hukum kepada rakyat di mana tolok ukurnya adalah suara mayoritas. Di mana
ada suara mayoritas, di situ dianggap ada
kebenaran. Sedangkan dalam Islam, kebenaran itu diputuskan oleh
nas-nas syara’, bukan oleh jumlah
suara atau kebanyakan manusia. Bahkan
kadang kala kebanyakan manusia bersepakat atas kebatilan. Allah SWT berfirman:
] وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ [
Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (TQS al-An’am [6]: 116)
Dari semua itu, jelaslah bahwa demokrasi
bertentangan secara total dengan Islam. Ini tentang pilar pertama demokrasi
yaitu kedaulatan rakyat. Adapun pilar kedua, kekuasaan milik rakyat, memang
dalam Islam, kekuasaan dimiliki oleh rakyat. Rakyatlah yang berhak memilih
penguasa dan melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dipilih rakyat sebagai
penguasa itu. Meski secara global tampak sama, namun dalam filosofi dan rincian
prakteknya, demokrasi berbeda, bahkan bertentangan dengan Islam.
Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk
menjalankan hukum yang dibuat oleh rakyat. Sementara dalam Islam, rakyat
memilih penguasa untuk menerapkan hukum-hukum syara’. Sebab Islam memerintahkan
kita semua untuk berhukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah
diturunkan oleh Allah, yaitu menurut hukum syara’ (QS al-Maidah [5]: 48, 49). Islam
mengaitkan aktifitas menjadikan Rasul saw sebagai pemutus perkara yang terjadi
di tengah manusia yaitu artinya berhukum kepada syara’ sebagai bukti keimanan
(QS an-Nisa [4]: 65). Bahkan Allah SWT menetapkan siapa saja yang memutuskan
perkara dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut
selain hukum syara’ sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS
al-Maidah [5]: 47), bahkan (QS al-Maidah [5]: 44). Karena itu, Allah menegaskan
bahwa tidak ada pilihan bagi orang-orang yang beriman, kecuali tunduk kepada
keputusan yakni hukum yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا﴾
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS al-Ahzab [33]: 36)
Semua itu menegaskan bahwa dalam Islam,
penguasa dipilih oleh rakyat tidak lain adalah untuk menerapkan dan menjalankan
hukum syara’, bukan hukum positif buatan manusia seperti dalam demokrasi. Jelas dalam filosofi
pelaksanaan pilar kekuasaan milik rakyat ini, demokrasi bertentangan dengan
Islam.
Sementara dalam rincian prakteknya, dalam demokrasi
pelimpahan kekuasaan kepada penguasa dilakukan menurut teori kontrak sosial,
sementara dalam Islam dilakukan melalui akad baiat dari rakyat kepada penguasa.
Dalam demokrasi, penguasa “bekerja” kepada rakyat sehingga diberi gaji. Sedangkan
dalam Islam, penguasa “mewakili” rakyat mengimplementasikan hukum syara’, dan
kepadanya tidak diberi gaji melainkan tunjangan untuk mencukupi kebutuhannya
dan keluarganya secara makruf; sebab penguasa tersebut telah memberikan seluruh
waktunya untuk mengurus rakyat.
Wahai Kaum Muslimin
Penjelasan singkat di atas sudah cukup bagi orang
yang beriman kepada Allah dan Rasulullah saw serta yakin kepada hari akhirat
untuk mengetahui bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam yang dianut dan
diyakininya. Juga nyatalah bahwa demokrasi itu merupakan perampasan atas hak
Allah, jalan paling sesat, menjadi biang kerusakan, dan pangkal ketidakberuntungan.
Karena itu, demokrasi yang merupakan sistem dan hukum jahiliyah itu harus
dicampakkan. Allah SWT berfirman:
﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50)
Wallâh a’lam bi ash-shawab. []
Komentar:
Partisipasi rakyat dalam
pilkada kini cenderung menurun (lihat, Kompas, 28/5)
1.
Hal
itu karena tidak ada bukti yang
sahih, bahwa pemilu bisa mengubah nasib rakyat. Juga, karena partai
maupun calon-calon pemimpin yang tampil sebagai representasi rakyat sudah jatuh
di mata rakyat, baik karena korupsi dan moral hazard yang lainnya.
2.
Ini tambahan bukti bahwa demokrasi hanya
memberi harapan kosong. Saatnya tinggalkan dan campakkan demokrasi.
Posting Komentar untuk "Demokrasi Bertentangan dengan Islam, Harus Dicampakkan!"