Anekdot Ramadhan Tanpa Khilafah: Orang Kafir Sudah Mendarat Di Bulan, Umat Islam Masih Ribut Ngintip Bulan

 

Ketika Ramadhan Tanpa Khilafah

Oleh: Hafidz Abdurrahman,
Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI

Tiap tahun, umat Islam melaksanakan puasa Ramadhan. Bulan agung dan penuh berkah itu tiap tahun menghampiri mereka, tetapi tahun demi tahun berlalu, namun kondisi mereka tidak pernah berubah. Jangankan untuk mengurus urusan politik, ekonomi, sosial dan pendidikan, untuk mengurus urusan penyatuan puasa dan hari raya saja mereka tidak bisa. Hingga ada anekdot, jika orang non-Muslim sudah mendarat di bulan, maka umat Islam sampai sekarang masih ribut, hanya untuk mengintip bulan. Kondisi umat Islam memang sangat memprihatinkan, dalam segala hal. Bahkan untuk urusan yang sangat pribadi, seperti ibadah, sekalipun mereka tidak bisa mengurusnya. Inilah ironi umat terbaik ketika hidup tanpa Khilafah.

Ketika umat terbaik ini diperintahkan untuk berpuasa berdasarkan rukyat al-hilal, sebagaimana sabda Nabi,"Shumu li ru'yatihi, wa afthiru li ru'yatihi (Berpuasalah karena melihat hilal, dan berhari rayalah karena melihat hilal)." (HR Muslim), dan mereka pun tahu bagaimana cara merukyatnya, ternyata tidak mudah bagi mereka untuk berpuasa dan berhari raya dengan rukyat. Bahkan, yang lebih ironis, ada yang memberikan kesaksian dengan nishab yang cukup, tetap saja tidak diterima.

Perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri ini bisa terjadi karena tiga faktor.Pertama, faktor astronomi; Kedua, faktor fiqih; Ketiga, faktor politik. Ini tampak sebagaimana yang dilakukan oleh Qadzafi, ketika Kerajaan Saudi mengumumkan awal Ramadhan pada hari tertentu, kemudian ulama Qadzafi mengumumkan awal Ramadhan yang berbeda. Padahal, pengumuman yang disampaikan oleh Kerajaan Saudi itu benar. Hal yang sama sering terjadi, ketika pemerintah Indonesia berpuasa dan berhari raya berbeda dengan pengumuman Kerajaan Malaysia atau pengumuman pemerintah Indonesia yang berbeda dengan pengumuman pemerintah Arab Saudi.

Perbedaan yang pertama dan kedua, yang disebabkan oleh faktor astronomi maupun fiqih, bisa terjadi karena beberapa faktor. Misalnya, sebagian negara meminta rakyatnya untuk mencari hilal, kemudian ada yang datang memberikan kesaksian, bahwa dia telah melihat hilal, meski secara astronomis merukyat hilal tersebut dianggap tidak mungkin. Ada kalanya satu negara menolak kesaksian saksi yang menyaksikan telah merukyathilal, jika dianggap secara astronomi rukyat tersebut mustahil dilakukan. Namun, itu tetap diterima, sekalipun secara astronomi dinyatakan tidak mungkin. Tetapi, yang patut disayangkan, kebanyakan negeri Islam sebenarnya tidak mencari hilal secara resmi, dengan seluruh perlengkapan, sarana dan prasarana yang dimilikinya, termasuk satelit. Pemerintahnya hanya menyerukan rakyatnya untuk mencari hilal tetapi mereka sendiri tidak melakukannya.

Selain itu, adakalanya negara-negara tersebut menetapkan prinsip kesatuan mathla' untuk seluruh dunia; begitu diketahui salah satu negara telah mengumumkan merukyat hilal, maka langsung diikuti, tanpa diverifikasi, apakah rukyat hilal tersebut shahih atau tidak. Seperti yang terjadi pada Yordania. Namun, ada juga negara yang menganut prinsip multi-mathla’ sehingga ketika ada negara lain menyatakan telah merukyat hilal, tidak secara otomatis mereka akan mengikutinya. Ini seperti yang terjadi pada Arab Saudi, Indonesia, Malaysia dan lain-lain. Sebagai contoh, ketika pemerintah Yaman mengumumkan hilal tanggal 7/12/1999, sehingga 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 8/12/1999, namun pemerintah Arab Saudi tidak mau mengikuti mereka sehingga menetapkan 1 Ramadhan di Arab Saudi jatuh pada tanggal 9/12/1999.

Permasalahan ini tidak akan pernah selesai, ketika masing-masing negeri kaum Muslim tersebut masih terkotak-kotak dalam nation state. Karena masing-masing penguasanya mempunyai ego sektoral, yang ingin diakui eksistensinya dan terus dipertahankan. Karena itu, perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik, ketimbang faktor astronomi atau fiqih. Jika secara fiqih, perbedaan dalam menentukan pendapat yang kuat, antara satu mathla' dan multi-mathla' (tempat terbitnya hilal) yang terjadi di kalangan ulama bisa diselesaikan dengan tarjih adillah (menentukan dalil yang paling kuat), demikian juga secara astronomi bisa ditemukan persamaan, ketika kaidah, rumus dan patokannya sama, maka masalah perbedaan tersebut sejatinya tinggal masalah politik. Dengan kata lain, berlarut-larut munculnya masalah ini tidak lain, karena masalah politik.

Karena perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri ini disebabkan oleh faktor politik, maka penyelesaian yang harus dilakukan adalah penyelesaian politik, bukan fiqih atau astronomi. Masalah politik yang paling dominan karena masing-masing negara tidak mempunyai politcal will untuk menyatukan puasa dan hari raya kaum Muslim di seluruh dunia. Bahkan, nyaris keinginan seperti itu mustahil. Karena, masing-masing negeri kaum Muslim mempunyai afiliasi politik yang berbeda; ada yang tunduk pada Inggris, seperti Yordania, Malaysia, Libya, dan lain-lain; dan ada yang tunduk pada Amerika, seperti Indonesia, Pakistan, Mesir, dan lain-lain. Masing-masing penjajah, baik terhadap koloninya sendiri maupun koloni negara lain, tetap ingin menjadikan masing-masing koloninya tidak bersatu.

Karena itu, problem penyatuan puasa dan hari raya kaum Muslim ini mutlak membutuhkan Khilafah, satu negara untuk seluruh kaum Muslim di seluruh dunia yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Keputusannya bisa menghilangkan seluruh perselisihan, baik karena faktor fiqih, astronomi maupun politik. Inilah yang dinyatakan oleh ulama ushul, "Amr al-imam yarfa'u al-khilaf (Keputusan imam bisa menghilangkan perbedaan pendapat)." Dengan keputusannya, perbedaan fiqih bisa ditarjih dan diambil salah satu, kemudian diberlakukan di seluruh negeri kaum Muslim. Demikian juga perbedaan astronomi dengan mudah akan bisa dipertemukan, terlebih ini merupakan masalah sains, bukan tsaqafah. Hal yang sama juga berlaku terhadap perbedaan politik.

Ada yang menyatakan, bahwa penyatuan awal Ramadhan dan Idul Fitri ini merupakan sesuatu yang mustahil. Pandangan seperti ini sebenarnya lahir dari orang yang berpandangan seperti katak dalam tempurung. Terlebih, karena katak tidak mempunyai akal yang bisa menjangkau keterbatasan fisiknya. Manusia jelas bukan katak, karena Allah menganugerahkan akal kepadanya. Sesuatu yang tidak ada saat ini, tidak akan dianggap mustahil, sekalipun sulit. Karena akalnya bisa menjangkau sesuatu yang jauh melampui batasan fisiknya. Selain itu, pandangan-pandangan seperti sengaja dihembuskan, untuk terus-menerus mengerdilkan umat Islam dan memelihara konflik horizontal akibat perbedaan awal dan akhir Ramadhan.

Hanya Khilafah solusi tuntas dan tunggal terhadap masalah ini. Tanpa Khilafah, mustahil masalah ini bisa diwujudkan. Maka, siapapun yang berusaha menyelesaikan persoalan ini, tetapi melupakan akar masalah dan solusinya, yaitu ada dan tidaknya Khilafah, hanyalah isapan jempol semata, dan akan berujung pada kegagalan. Bahkan, boleh dikatakan bahwa mereka tidak sungguh-sungguh ingin menyelesaikan permasalahan kaum Muslim.[]

[www.bringislam.web.id]

Posting Komentar untuk "Anekdot Ramadhan Tanpa Khilafah: Orang Kafir Sudah Mendarat Di Bulan, Umat Islam Masih Ribut Ngintip Bulan"