Istri-istri Shalehah

Istri-istri Shalehah

Beberapa Kewajiban Isteri kepada Suami


Oleh : Alya Abdullah

Meringankan beban belanja suami 


“Hendaklah (suami) yang berkelapangan membelanjai sesuai kelapangannya dan (suami) yang berkekurangan/disempitkan rezekinya, membelanjai dari harta yang Allah Karuniakan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq : 7)
Seorang istri berhak memperoleh belanja cukup dari suaminya. Suami wajib memberikan belanja kepada istrinya. Jumlah nafkah ini ditentukan sesuai kebutuhan istri dan harus sesuai kemampuan suami, seorang istri tidak boleh memaksa/menuntut suami untuk memberinya belanja lebih dari kemampuan konkret suami. Istri sholehah akan sangat bijak dalam mempergunakan pemberian yang telah diberikan suami, dan harus mengupayakan semaksimal mungkin untuk mencukupi kebutuhan keluarga sekaligus dengan meminimalkan pengeluaran yang sebenarnya tidak perlu samasekali.
Dibutuhkan kecerdasan dan keterampilan untuk memanage keuangan disamping harus memiliki sifat qanaah. Untuk mencari penghasilan tambahan maka seorang istri seyogyanya berupaya membantu suami. Bila seorang istri memiliki penghasilan dari usahanya sendiri dan ia keluarkan untuk kebutuhan keluarganya maka hal ini termasuk sedekah yang tentu insya Allah berpahala.

Namun hal terpenting yang harus diingat adalah bahwasanya rejeki adalah Ketetapan dari Allah Ta’ala semata, ikhtiar yang dilakukan adalah bagian dari pilihan seorang muslim, tidak lebih dari itu.
“Dan di langit ada (sebab-sebab) rizki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (Q.s. Adh-Dhâriyât; 22-23).

Belum pernah ada satu ayat pun yang menggunakan ta’kîd (penegasan) yang sedemikian kuat melebihi ayat rizki ini. Pertama, penegasan kebenaran, bahwa rizki di tangan Allah (di langit) dan sebabnya hanya Allah, dengan menggunakan qasam (sumpah), yaitu Wa Rabbi as-Samâ’i Wa al-Ardh (demi Tuban langit dan bumi). Kedua, penegasan dengan menggunakan huruf ta’kîd, yaitu Innahu, yang berarti “sesungguhnya rizki”. Ketiga, penegasan yang menggunakan huruf lam at-ta’kîd, yaitu Lahaqqun, yang artinya “benar-benar akan terjadi.” Keempat, penegasan dengan menggunakan huruf ta’kîd, yaitu Innakum, yang artinya “sesungguhnya kamu”. Kelima, penegasan dengan menggunakan lafadz: Tanthiqûn (kamu berbicara) dan bukan yang lain, yaitu antara lafadz: Tanthiqûn dengan Rizq disatukan dalam satu konteks kalimat, yang menunjukkan bahwa antara rizki dengan bicara tersebut mempunyai tempat yang sama, yang sekaligus menunjukkan hubungan antara rizki dengan mulut.

Ini artinya, bahwa “Kalian tidak bisa berbicara dengan menggunakan mulut orang lain, selain mulut kalian sendiri, maka kalian juga tidak bisa memakan rizki orang lain, selain rizki kalian sendiri.” Karena itu, setiap makhluk yang diberikan kehidupan oleh Allah pasti telah Dia tetapkan rizkinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT.:

“Dan tidak ada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rizkinya telah ditetapkan oleh Allah.” (Q.s. Hûd: 6). 2. Membantu kehidupan agama suami “(Ingatlah) ketika istri ‘Imran berkata : “Wahai Tuhan-ku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada-MU anak yang ada dalam kandunganku ini menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah nadzar itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran : 35)


Membantu kehidupan agama suami

“(Ingatlah) ketika istri ‘Imran berkata : “Wahai Tuhan-ku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada-MU anak yang ada dalam kandunganku ini menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah nadzar itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran : 35)
Seorang istri mempunyai kewajiban berdakwah. Orang yang paling utama didakwahi adalah suami. Karena itu tugas seorang istri membantu kehidupan agama suami adalah fardhu ‘ain. Istri adalah orang yang paling bertanggungjawab meluruskan perilaku suami yang tidak sejalan dengan ketentuan Islam. Jangan sampai yang terjadi justru sebaliknya, istri malah menjadi musuh dalam kehidupan beragama suaminya. Misalnya suami menghendaki hidup bersih dan lurus, menjauhkan dari hal-hal yang dilarang Syariah, sebaliknya istri selain tidak mau belajar menambah ilmu agama dan berkembang, menghambat jalan dakwah bagi suaminya dengan berbagai macam keluhan yang tidak bermanfaat.
Oleh sebab itu, seorang istri sholehah akan membuka peluang dakwah bagi suami selebar-lebarnya sekaligus terus menggali potensi diri dengan asupan ilmu Dien yang kaffah hingga menopang kehidupan beragama suami.


Mendahulukan kepentingan suami daripada kepentingan ibu bapak dan anak-anaknya
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain( wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang sholehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka & pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi & Maha Besar.”(an-Nisaa:34).

Dari Anas, ujarnya : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersabda : “Tidak patut seorang sujud kepada orang lain. Sekiranya seseorang patut sujud kepada orang lain, tentu aku akan perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepada istrinya itu.” (HR. Nasa’i)
Dari ‘Aisyah ra., ujarnya : Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Siapakah yang paling besar haknya kepada seorang wanita?” Sabdanya : “Suaminya.” Aku bertanya pula : “Siapakah yang paling besar haknya kepada seorang laki-laki? Sabda Beliau : “Ibunya.” (HR. Nasa’i)

Seketika seorang muslimah telah menjadi seorang istri maka seketika itu juga ketaatannya kepada suami wajib ia utamakan dibanding siapapun termasuk pada orangtuanya. Bahkan lebih jauh, seorang istri harus mendahulukan kepentingan suami dibanding kepentingan orangtua dan anak-anaknya. Istri tidak boleh melawan apalagi membangkang terhadap suatu keputusan yang diambil suami dan istri sholehah akan rela dan menerimanya sebagai bentuk ketaatan pada suaminya.
Tugas dan beban suami begitu berat kepada istrinya, maka Islam memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada suami, dimana seorang istri patut taat secara total selama suaminya memerintahkan hal yang sesuai hukum Syara.


Keluar rumah harus minta izin suami

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersabda, : “Siapa saja istri yang keluar dari rumahnya tanpa izin suaminya, maka ia berada dalam kemurkaan Allah sampai ia pulang atau suaminya merelakannya.” (HR. Khathib, dari Anas)
Istri yang taat kepada suaminya tentu tidak akan merasa tertekan atau terpenjarakan bilamana harus meminta izin setiap kali akan pergi keluar rumah untuk hal-hal yang Syar’i, seperti misalnya untuk datang ke majelis ilmu. Maka seorang istri tidak boleh keluar rumah semaunya sendiri tanpa seizin suaminya.


Tidak merusak kepemimpinan suami

Dari Abu Bakrah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sabdanya : “Binasalah kaum laki-laki yang mentaati para wanitanya.” (HR. “Ahmad dan Thabarani)
Allah Ta’ala telah Menetapkan bahwa seorang lelaki adalah pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Istri adalah wakil suami dan ini jangan sekali-sekali diputarbalikan. Seorang istri (apalagi anak) tidak memiliki hak samasekali dalam mengambil alih atau ikut campur dalam kekuasaan seorang suami. Ia wajib menghormati posisi suami sebagai Qowwam dan Qiyadah alBayt sepenuhnya.

Haram bagi seorang istri mengambil kekuasaan sekaligus kehormatan suami sebagai kepala rumahtangga kecuali dalam kondisi yang diperbolehkan oleh Syara’, misalnya suami sakit keras dan benar-benar tidak mampu lagi mengambil keputusan apapun.
Istri sholehah akan selalu menjaga wibawa suami dengan kesadaran penuh dan kecintaan yang sangat hanya karena Allah Ta’ala.


Berterimakasih pada suami

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ujarnya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersabda, : “Allah tidak mau melihat istri yang tidak berterimaksih atas segala kebaikan suaminya, padahal ia selalu memerlukannya.” (HR. Nasa’i)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa sangat sedikit kalangan istri yang tahu berterimakasih kepada suaminya. Contoh kasus pada saat sekarang dalam masyarakat, seorang istri mendesak suaminya untuk mampu menyediakan barang-barang seperti yang ada dalam iklan atau sinetron, akhirnya ditempuh dengan jalan mengkredit barang tersebut. Penghasilan suami jadi tersedot untuk membayar kreditan sehingga kebutuhan pokok jadi tumpang tindih. Tinggalah omelan panjang sang istri yang menyakitkan suami.
Istri sholehah akan selalu mengucapkan hamdalah begitu menerima sesuatu dan berterimakasih dengan tulus pada suaminya. Setiap usaha dan hasil jerih payah suaminya senantiasa disertai doa kepada Sang Khaliq, moga suami dan keluarganya mendapat keberkahan dan kebaikan di dunia dan akhirat.


Tidak menyakiti hati suami

Dari Mu’adz bin Jabal, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sabdanya : “Jangan seorang istri menyakiti suaminya di dunia ini karena bidadari dari Surga berkata kepadanya : ‘Janganlah engkau sakiti dia, semoga Allah membinasakanmu, sebab dia (suamimu) hanya sebentar saja di sisimu. Ia segera akan berpisah darimu untuk pergi kepada kami.’ “ (HR. Tirmidzi)
Dari Hushainbin Mihshan, bahwa salah seorang bibinya datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam., lalu Nabi Bersabda kepadanya : “Apakah engkau mempunyai suami?” Jawabnya : “Ya.” Sabdanya : “Bagaimana keadaanmu dengan dia?” Jawabnya : “Saya selalu mendahulukan keperluannya selama saya mampu melakukannya.” Sabdanya lagi : “Bagaimana engkau hidup bersamanya? Sesungguhnya (suamimu) adalah Surgamu dan Nerakamu.” (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Istri dapat dikatakan menyakiti suami bila ucapan, sikap, tindakan dan perbuatannya dapat dinilai telah merendahkan martabat atau menjatuhkan harga diri/wibawa suaminya. Contohnya dengan tanpa dipikir ia melontarkan kata-kata yang sebenarnya sangat menyakitkan, tapi demi kepuasan bathin istri terus saja mencaci suami atau memberikan sesuatu dengan sikap tidak suka/bermuka masam hingga tidak lagi mengindahkan rasa hormatnya pada suami.

Kiranya istri yang sholehah harus peka untuk memilah mana prilakunya yang akan menyakitkan suami, agar terhindar dari amarah suami dan merasa benar-benar dihargai sebagai Qowwam.


Menerima giliran suami dengan baik jika suami berpoligami


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersabda, : “Hak suami atas istrinya ialah tidak meninggalkan tempat tidurnya, bersikap baik saat suami datang menggilirnya, taat pada perintahnya, tidak keluar rumah tanpa ijinnya, dan tidak memasukkan orang yang dibenci suaminya ke dalam rumahnya.” (HR. Thabarani)

Seorang suami dibenarkan oleh Islam untuk menikahi perempuan sampai empat orang selama memenuhi Syariah. Oleh karena itu, istri yang suaminya berpoligami tentu hari-harinya bergilir dengan istri-istri suaminya yang lain. Islam memerintahkan agar istri menerima dengan baik ketika sedang digilir suami sekaligus rela dan ikhlas saat suami menggilir istri-istrinya yang lain. Tidak dapat dipungkiri hati perempuan akan sakit pada mulanya namun perasaan semacam ini harus dihilangkan karena tidak beralasan, sebab poligami adalah sesuatu yang dihalalkan Allah.

Istri sholehah dengan penuh keridhoan dan senyuman ketika melepas suaminya menggilir istri-istrinya yang lain maka suami akan semakin sayang dan cinta padanya karena dengan demikian istri telah rela mengorbankan kesenangan diri sendiri untuk kebahagiaan suaminya. Bahkan sesungguhnya istri-istri suaminya yang lain adalah saudari-saudarinya yang bisa saling meringankan beban diantara mereka dan saling membantu menguatkan dakwah suami.


Tidak menyuruh suami menceraikan istri-istrinya yang lain

Dari Abu Hurairah ra., telah sampai kepadanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersabda : “Seorang wanita tidak boleh meminta suaminya menceraikan istrinya (yang lain) supaya berkecukupan tempat makannya. (HR. Tirmidzi)

Sekali lagi ditegaskan bahwa poligami adalah hal yang dihalalkan Allah Ta’ala. Sikap tidak suka apalagi membenci poligami adalah bentuk pengingkaran terhadap salah satu hukum Allah. Seorang istri tidak sepantasnya menentang keinginan suami untuk menikah lagi apapun alasannya terlebih sampai bermaksud menghalangi dan berusaha menggagalkan pernikahan itu karena perasaan tidak ridho, padahal telah ditetapkan Allah Ta’ala bahwa hukum poligami adalah mubah, tanpa syarat dan ‘illat apapun. Perbuatan istri yang tidak taat terkategorikan pembangkangan pada suami yang tentu suatu dosa besar.

Apakah seorang muslimah yang patuh pada ajaran Islam lebih rela suaminya berkholwat atau berzinah dengan perempuan yang bukan mahromnya daripada merelakan suaminya berhubungan secara halal dengan perempuan lain? Tentu tidak mungkin.

Istri sholehah yang mengakui Allah Ta’ala sebagai Tuhan-nya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi-nya akan secara tulus mengikhlaskan suaminya menikah lagi sebagai bentuk kepatuhan pada suami.

Pada awal suami menggilir istrinya yang lain, seorang istri sholehah insya Allah mampu menata hatinya dan membiasakan diri dengan tetap melakukan aktivitas seperti biasa, bahkan dengan ‘tak perlu’ mengurus suami selama berada dirumah istrinya yang lain, waktu luang yang ada dapat dipergunakan untuk menggali ilmu atau kegiatan yang Syar’i lainnya. Bahkan bisa saling mengunjungi istri-istri suaminya yang lain.

Jangan malah ketika suami menggilir istrinya yang lain malah sibuk memupuk rasa cemburu dan kebencian, membayangkan suami dengan istrinya yang lain, karenanya dapat menimbulkan keinginan agar suami menceraikan istrinya yang lain itu. Lalu berusaha terus menerus membujuk suaminya supaya kecenderungan yang tidak dibenarkan Syara’ menjadi miliknya dan membujuk suami untuk tidak berlaku adil menurut Syara’ terhadap istrinya yang lain. Perilaku ini tentu sangat tidak terpuji dan mencerminkan rapuhnya aqidah dan kepribadian Islam yang dimiliki, sangat jauh dari sikap seorang muslimah yang sholehah. Adalah sikap sangat tercela karena membenci sesuatu yang dihalalkan Allah Ta’ala sekaligus sikap durhaka pada-NYA, balasannya kelak adalah siksa Neraka. Na’udzubillah.

Apalagi selama perempuan lain yang menjadi istri suaminya adalah perempuan yang taat agama dan tidak bermaksud mencelakakan kehidupan agama suami dan kehidupan rumahtangga bersama.


Tidak minta cerai tanpa alasan

Dari Tsauban, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersabda, : “Seorang wanita yang minta cerai dari suaminya tanpa suatu alasan yang sah, maka diharamkan baginya bau Surga.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud)
Seorang istri haram meminta cerai dari suaminya apabila tidak memiliki alasan yang Syar’i, tapi sebaliknya diperbolehkan meminta cerai bila mempunyai alasan yang Syar’i. alasan tersebut diantaranya yaitu :
a. Suami enggan mencari nafkah dan istri tidak ridho
b. Suami impoten
c. Sangat benci pada suaminya hingga tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban pada suaminya
d. Aqidah suami tipis dan berakhlaq tercela

Sebagai istri sholehah tentu harus berjuang dan berupaya meluruskan suami kembali ke jalan yang benar dan berupaya semaksimal mungkin untuk dapat mencintainya dengan tulus namun jika upaya tetap tidak membuahkan hasil maka kembalikan semua hanya pada-NYA semata.

Wallahua'lam

Sumber : 40 tanggungjawab Isteri terhadap Suami – Drs. M. Thalib IPS (Islam Politik Spiritual) – Hafidz Abdurrahman

1 komentar untuk "Istri-istri Shalehah"