Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir
1. Benarkah tidak ada dalil tentang kewajiban Khilafah ?
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari
seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah
ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :
أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب
عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام
الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا
الإجماع من يعتدّ بخلافه
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah],
juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah]
yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang
mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang
teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan,
”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya
di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana
kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah
perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi
dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar
maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.”
(Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)
Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi
pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat
semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij
akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al
Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah,
Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa
Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus
mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama
dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat
bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh
mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu
Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4
(empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah
Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari
ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk
mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah).
Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat
Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk
mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati
Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini
menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam
adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah
memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara
kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah
ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya
adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang
mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak
ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW,
maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya
hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak
akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat
di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa
yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat
seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.
(Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash
(QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An
Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat
lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam
(Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya
mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut
bergantung pada keberadaan Imam itu.
Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa
jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti
baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada
seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat
seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad
Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka
hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir
(pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan
pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga
orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga
mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar
dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).
Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu
miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting
dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam,
perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah,
maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :
نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين
“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya
dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan
tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).
Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على
أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث
اشتغلوا به عن دفن رسول الله
“Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah
meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam
(khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan
mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka
menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban
menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).
Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak
dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban
melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An
Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban
jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat,
dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin
dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban
ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah
Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya
Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).
2. Apakah khabar dari Rasulullah tentang akan adanya khilafah ala minhajin nubuwah (hadits Hudzaifah bin al Yaman) juga jadi dalil?
Dalil wajib tegaknya khilafah sudah diuraikan di atas. Adapun hadits
Hudzaifah bin al Yaman adalah busyra atau kabar gembira Rasululullah
tentang bakal kembalinya khilafah di masa mendatang. Meski tidak
mengandung tuntutan atau thalab, tapi hadits tadi penting untuk
diperhatikan. Logikanya, tidak mungkin sesuatu itu, yakni Khilafah,
dikabarkan oleh Rasulullah bakal kembali tegak bila sesuatu itu bukan
perkara penting dan wajib dalam agama ini.
3. Secara ilmiah dan empiris, sebenarnya kemungkinan tegaknya khilafah di muka bumi?
Pasti akan tegak. Mengapa? Pertama, khilafah itu sebuah kewajiban,
bahkan dijanjikan oleh Allah Swt. Dan semua janji Allah pasti akan
terwujud asal kita memenuhi semua syarat-syarat bagi terwujudnya
janji-janji itu. Sebagaimana jatuhnya Romawi Timur kepada Islam. Meski
itu sangat sulit, tapi karena keyakinan dari para sahabat, para pejuang
Islam pada waktu itu bahwa jatuhnya Romawi Timur ini adalah sebuah
kemestian, sebuah kewajiban dan sekaligus dijanjikan, maka misi sesulit
itu tetap saja dilakukan. Ekspedisi untuk menaklukkan Konstantinopel
sudah di mulai semenjak Khalifah Usman bin Affan. Dan Anda tahu, sejarah
membuktikan Konstantinopel jatuh baru pada tahun 1453. Jadi hampir 700
tahun kemudian. Ketika panglima Muhammad al-Fatih masuk ke benteng
Konstantinopel, dia teringat kepada hadist yang berbunyi Fala ni’ma al-amir, amiruha. Fala ni’ma al-jaiz fadzalika al-jaiz (sebaik-baik
panglima perang adalah panglima perang yang menaklukkan Konstantinopel,
dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkan
Konstantinopel). Hadis itu dibaca oleh Muhammad al-Fatih, seolah-olah
Nabi memuji dirinya. Padahal hadis itu diucapkan pada 700 tahunan
sebelum peristiwa besar itu terjadi.
Bila untuk menaklukkan Konstantinopel yang merupakan jantung dari
adikuasa Romawi Timur saja akhirnya bisa dilakukan, meski harus melalui
upaya yang luarbiasa dan memakkan ratusan tahun, apalagi untuk sebuah
khilafah yang itu sudah pernah ada, dan tinggal membangkitkan memori
umat, tentu insha Allah akan lebih mudah. Dalam pengalaman gerak Hizbut
Tahrir, pengalaman gerak saya di negeri ini sekian tahun lamanya, saya
mendapatkan respon yang luar biasa dari umat. Ketika umat ini makin lama
makin mendukung, apalagi ditambah dengan kondisi eksternal seperti
bagaimana Amerika Serikat dengan kejam menggempur Irak, juga Afganistan
tanpa bisa kita cegah sama sekali, dan konflik Israel dan Palestina
yang sudah lebih 50 tahun tidak juga kunjung selesai, para pemimpin umat
pun berfikir lalu solusinya apa? Apa yang bisa kita lakukan untuk
membela diri? PBB sudah terbukti lebih berpihak kepada negara-negara
besar. Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga tidak punya gigi karena
masing-masing anggota lebih mementingkan negaranya sendiri-sendiri.
Negara-negara Arab sama saja, ASEAN apalagi. Pada puncaknya mereka, para
pemimpin umat itu, akan melihat bahwa gagasan khilafah ini yang paling
pas. Meski cita-cita itu sangat sulit. Dan kesulitan itu juga yang kami
rasakan. Tapi semua masih sangat mungkin berubah, baik karena faktor
internal maupun tekanan eksternal. Ada banyak tokoh-tokoh Islam yang
pada 20 tahun yang lalu ketika kami pertama kali muncul untuk
menyampaikan ide khilafah ini tidak mau mendengar atau bahkan mencibir
dan sebagainya, sekarang berubah total, mereka mendukung betul.
Pada kenyataannya pengamat dunia internasional pun juga
memperkirakan khilafah Islam akan berdiri tidak lama lagi. National
Intelligence Council (NIC) yang bersidang di Amerika Serikat baru baru
ini, menskenariokan bahwa pada tahun 2020 Islamic Caliphate (khilafah
Islam) akan berdiri. Mereka menskenariokan empat kemungkinan pada tahun
2020. Pertama, dunia tetap dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, dunia dipimpin oleh India atau China. Ketiga,
dunia dipimpin oleh seorang tiran, entah dari mana. Lalu yang keempat
berdirinya Islamic Caliphate. Bila mereka saja bisa memprediksi bahwa
khilafah Islam akan berdiri, mengapa kita bilang itu tidak mungkin?
4. Bagaimana dengan adanya pihak yang mengatakan, khilafah bukan satu-satunya jaminan bagi kejayaan umat Islam?
Kejayaan umat ditentukan oleh dua faktor. Yang
pertama adalah sistem yang baik. Dan yang kedua adalah kepemimpinan yang
amanah. Sistem yang baik itu adalah sistem yang berasal dari Dzat yang
Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah syariah Islam. Dan pemimpin yang
amanah adalah pemimpin yang mau tunduk kepada sistem yang baik tadi, dan
dia memimpin dengan penuh keadilan.
Secara i’tiqadiy, Allah SWT telah menjamin syariah pasti akan membawa
rahmat. Nabi Muhammad diutus untuk membawa agama Islam sebagai rahmat
bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin). Dari berbagai ayat dan hadits, kita dapat disimpulkan bahwa ‘hinama yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah’,
dimana ada hukum syariat di situ pasti ada kemaslahatan. Sejarah pun
membuktikan hal itu. Kejayaan Islam masa lalu pun diraih ketika
kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariat terwujud serta
umat Islam bersatu dan bekerja keras di bawah kepemimpinan seorang
khalifah. Maka, kejayaan yang sama akan diraih kembali di masa yang akan
datang melalui jalan serupa.
Kalau kita percaya bahwa Islam dengan akidah dan syariatnya datang
untuk membawa rahmat, dan rahmat adalah segala kebaikan yang kita
angankan berupa kedamaian, keadilan, kesejahteraan, kemajuan,
kebersamaan dan sebagainya, maka bagaimana mungkin rahmat itu akan
terwujud kalau kemudian kita menolak ketentuan syariat Islam itu sendiri
di mana di dalam syariat itu ada perintah agar kita bersatu.
Kejayaan Islam dibawah Khilafah diakui oleh siapapun yang membaca sejarah dengan jujur. Diantaranya, Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, ia menulis: Para
khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang
luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah
itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang
memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam
wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat
(dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka
menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera,
filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia
Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima
abad.
Jadi, bila bukan dengan khilafah, lantas dengan apa umat Islam akan meraih kembali kejayaannya?
5. Bagaimana dengan pandangan yang
tidak setuju dengan solusi yang ditawarkan oleh HT menyangkut
penyelesaian problematika umat Islam yakni perbaikan sistem dan pemimpin
sekaligus. Bagi mereka yang penting pribadi masyarakat bagus, nanti
otomatis sebuah negara/bangsa akan bagus.?
Itu asumsi yang tampak indah, tapi tidak faktual.
Nyatanya, orang akan cenderung menjadi baik dalam lingkungan dan sistem
yang baik. Begitu sebaliknya, orang yang baik akan cenderung tergerus
kebaikannya dalam lingkungan dan sistem yang buruk. Lihatlah sekarang
ini, dalam lingkungan yang korup banyak birokrat yang baik, akhirnya
terseret juga menjadi korup. Oleh karena itu dalam menyelesaikan problem
kita harus menggarap dua sisi sekaligus yakni sistem dan kepemimpinan.
6. Bagaimana dengan tudingan bahwa HT mu’tazilah, khawarij, dan bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah?
Khawarij mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena
mereka keluar di suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut
warga Nahrawan, karena Imam Ali memerangi mereka di sana. Di antara
kelompok Khawarij ada yang beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut
Abdullah bin Abadh; ada juga yang beraliran Azariqah, yaitu para
pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran an-Najadat, yaitu para pengikut
Najdah al-Haruri. Merekalah kelompok yang pertama kali mengkafirkan kaum
Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka juga telah menghalalkan
darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Utsman bin
Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka telah membunuh
Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk dibunuh.
Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua, Mukmin
atau kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua
kewajiban dan meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu
berarti kafir, ia kekal di dalam neraka. Mereka pun kemudian memvonis
kafir siapa saja yang berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan
bahwa Utsman dan Ali telah berhukum pada selain hukum yang diturunkan
oleh Allah dan zalim. Karena itu, mereka kafir.[1] Bahkan, sekte
an-Najadat tegas menolak kewajiban mengangkat imam atau khalifah.[2]
Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas sekali perbedaan Khawarij dengan Hizbut Tahrir, antara lain: Pertama,
dalam masalah iman dan kufur, Hizbut Tahrir berpegang pada prinsip
pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘). Karena itu, Hizbut Tahrir
tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis kafir.[3] Kedua, Hizbut
Tahrir juga berkeyakinan bahwa umat Islam saat ini masih memeluk akidah
Islam, betapapun kotor dan rapuhnya akidah tersebut. Dengan kata lain,
Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap umat ini tidak lagi berakidah
Islam, karena anggapan seperti justru sangat berbahaya, dan
membahayakan.[4] Karena itu, Hizbut Tahrir tidak pernah menghalalkan
darah kaum Muslim sehingga boleh dibunuh. Bahkan, tumpahnya darah
seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan
seisinya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR at-Tirmidzi).
Ketiga, Hizbut Tahrir menyatakan bahwa semua Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul). Meski seorang Sahabat bisa saja berbuat salah, hal itu tetap tidak akan menghilangkan status keadilannya.[5] Apatah lagi, memvonis Sahabat dan para pengikutnya dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.
Keempat, Hizbut Tahrir juga menyatakan
bahwa Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap berhukum pada
hukum yang diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang terjadi
antara Ali dan Muawiyah, yang masing-masing mengangkat Abu Musa
al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru untuk menjalankan perintah Allah
dalam masalah tahkîm, bukan sebaliknya.
Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan khalifah, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah,[6]
jelas Hizbut Tahrir sangat berbeda dengan sekte an-Najadat, yang dengan
tegas menolak kewajiban tersebut.Tinggal satu masalah, apakah tindakan
Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara
terbuka sama dengan tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij,
sebagaimana namanya, adalah mereka yang melawan para penguasa
(Khalifah) yang nyata-nyata menjalankan hukum Allah, bukan para penguasa
yang tidak menjalankan hukum Allah. Sebaliknya, Hizbut Tahrir
menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka
justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh pada hukum Allah.
Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan negara
penjajah, pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.
Dalam melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan cara-cara
fisik dan kekerasan, bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana yang
mereka lakukan terhadap Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Hizbut Tahrir,
sebagai entitas intelektual, tidak pernah menggunakan cara-cara
tersebut. Sekalipun para anggotanya banyak yang telah dianiaya, dizalimi
dan dibunuh di dalam penjara-penjara para penguasa despot, Hizbut
Tahrir tetap hanya menjalankan aktivitas intelektual dan politik; tanpa
sedikitpun menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi anarkis. Semua itu
dilakukan bukan karena tidak berani atau tidak mampu, tetapi semata-mta
karena Hizbut Tahrir berpegang teguh pada garis perjuangan Nabi saw. dan
tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski hanya seutas rambut.
Lalu, dari mana Hizbut Tahrir dan aktivitasnya disamakan dengan
Khawarij, padahal keduanya berbeda sama sekali? Ataukah mereka yang
membuat tuduhan itu memang tidak paham tentang Khawarij dan juga Hizbut
Tahrir? Atau mungkin mereka paham, tetapi sengaja melakukan penyesatan,
karena ada pesanan, sehingga bisa membuat analogi yang sama sekali
keliru, yang bahkan membuktikan rendahnya kadar intelektualitas mereka?
Hizbut Tahrir juga berbeda dengan Muktazilah, antara lain: Pertama,
dalam masalah akal. Muktazilah dan Asy’ariyah, sama-sama menggunakan
akal tanpa batas, sehingga digunakan melampaui kapasitasnya, sebagaimana
dalam pembahasan tentang Sifat Allah; apakah sifat sama dengan Zat
(Muktazilah), atau berbeda dengan Zat (Asy’ariyah). Kedua,
dalam masalah perbuatan. Muktazilah menyatakan, seluruh perbuatan
manusia berasal dari manusia, tanpa membedakan mana yang wilayah ikhtiyari dan ijbari. Ini jelas ditolak oleh Hizb. Ketiga, dalam masalah tawallud al-af’al (konsekuensi perbuatan), yang dinisbatkan kepada manusia. Ini juga berbeda dengan pandangan Hizb. Keempat,
dalam masalah takwil. Muktazilah cenderung menakwilkan ayat-ayat
Mutasyabihat yang tidak sejalan dengan pandangannya, sehingga
mengorbankan ayat-ayat yang lain. Dengan kata lain, takwil didasarkan
pada cocok dan tidak dengan logika, bukan didasarkan pada nas. Ini juga
ditolak oleh Hizb. Dengan demikian, jelas sudah, bahwa Hizbut Tahrir
tidak bisa dipersamakan dengan Muktazilah. Mempersamakan Hizbut Tahrir
dengan Muktazilah hanya menunjukkan kejahilan tentang Muktazilah dan
tentang Hizbut Tahrir.
7. Mengapa HT tidak banyak berkembang di Timur Tengah, apakah karena idenya tidak diterima atau karena faktor lain?
Di sepanjang kekuasaan rezim represif di seluruh
negara Timur Tengah, bukan hanya HT, gerakan Islam lain yang bersifat
politik juga tidak berkembang. Jadi tidak berkembangnya HT bukan karena
idenya tidak diterima, tapi lebih karena tekanan penguasa yang memang
tidak membiarkan gerakan apapun yang mungkin akan mengancam kekuasaan
mereka itu berkembang. Tapi setelah para penguasa itu tumbang, HT dengan
cepat berkembang lagi di Mesir, Tunisia, Lybia dan negara-negara Timur
Tengah lain.
8. Mengapa HT sering dipojokkan?
HT memang sering dipojokkan. Ini aneh, karena dalam perjuangannya HT
tidak pernah menggunakan kekerasan atau merugikan orang lain.
Gagasan-gasannya juga cukup jelas. Bisa dibaca dan didiskusikan dengan
terbuka. Jadi, mengapa HT sering dipojokkan, ada banyak kemungkinan.
Bisa karena mereka itu tidak paham substansi dari perjuangan HT, yang
intinya bagaimana mewujudkan kembali kehidupan Islam masyarakat dan
negara melalui penerapan syariah dalam bingkai khilafah agar kerahmatan
Islam bisa dirasakan oleh semua. Bisa juga karena memang tidak suka pada
ide ini. Mereka yang tidak paham, insha allah tidak sulit dipahamkan.
Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah memahami apa
sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa itu
substansi syariah dan khilafah yang tidak lain adalah justru untuk
menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.
Sementara yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam
hatinya, bisa juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekuler
yang ada sekarang ini. Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa
mereka yang menentang ide syariah dan khilafah itulah berarti orang yang
tidak menginginkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan
mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas berkat rahmat Allah,
menjadi lebih baik di masa mendatang. Mereka juga berarti menginginkan
penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut
diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.
9. Siapa yang ada di balik upaya itu?
Ada dua. Pertama anasir-anasir di dalam negeri,
baik muslim maupun non muslim, yang tidak menginginkan Islam tegak. Bila
non muslim, pasti mereka tidak memahami esensi perjuangan HT dengan
baik dan sudah keblanjur ada kedengkian dan ketakutan tanpa dasar.
Sementara bila muslim, pasti mereka adalah muslim yang telah
tersekulerkan. Bagaimana mungkin seorang muslim justru menentang
perjuangan bagi tegaknya syariah dan khilafah yang akan membawa Islam
kembali jaya.
Kedua, adalah negara Barat, yang memang akan terus berusaha
melanggengkan hegemoninya di dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi
kepentingan politik dan ekonomi mereka. Mereka akan menghantam habis
setiap kekuatan politik muslim yang berpotensi akan mengganggu hegemoni
mereka itu. Dan dalam operasinya mereka akan berkolaborasi dengan
kelompok pertama dan kedua tadi.
10. Bagaimana HT menghadapi itu semua?
HT menghadapi semua itu dengan tenang dan tegar. HT tidak takut
menghadapi semua itu. HT memahami semua itu sebagai salah satu
tantangan, hambatan dan rintangan dalam dakwah. Bila karena belum atau
salah paham, HT akan datang memahamkannya. Bila itu fitnah, HT akan
menjernikah fitnah itu. Dan dalam menghadapi semua tantangan itu, HT
yakin sekali akan pertolongan Allah SWT yang pasti akan diberikan kepada
para pejuang agamaNya. (Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia)
Posting Komentar untuk "Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir"