Sikap Aneh dalam Menyikapi Kenaikan Harga BBM

SPBU
Ada sebagian dari kalangan aktivis muslim menyikapi kasus naiknya harga BBM dengan cara yang “unik”. Tergolong unik, karena “solusi” yang ditawarkan keluar dari frame yang ada alias out of context.


Mereka (yang gemar mengklaim diri sebagai pengikut Ahlussunah dan pengikut Salaf ini) mengeluarkan sebuah kajian dalam rangka menyikapi persoalan kenaikan harga BBM. Mereka memandang bahwa ketika harga BBM naik, tidak selayaknya kaum muslim protes, apalagi sampai melakukan berbagai macam aksi atau unjuk rasa. Bahkan, perbuatan tersebut (melakukan aksi protes, unjuk rasa, atau demonstrasi) menurut mereka adalah perbuatan yang melanggar sunnah dan pelakunya bisa tergolong sesat. Sebab, melakukan unjuk rasa dan demonstrasi adalah perbuatan memberontak kepada pemerintah yang sah sebagaimana kaum khawarij memberontak dari pemerintahan Ali bin Abu Thalib dan khalifah-khalifah setelahnya. Jadi, sekali pun harga BBM naik, tetap tidak boleh protes.

Jika tidak boleh protes, lantas apa yang harus dilakukan untuk mengikapi persoalan naiknya harga BBM ini? Jawabannya menurut mereka adalah tetap bersabar. Sebab, dalam pandangan mereka kenaikan harga BBM ini adalah bagian dari ketetapan Allah. Bahkan, menurut mereka Allah-lah yang menetapkan harga BBM ini sebagaimana mereka mengutip hadis berikut.

Pada zaman Nabi saw. pernah terjadi bahwa harga-harga melambung tinggi. Kemudian para sahabat merasa resah dan mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani)

Berdasarkan hal tersebut, mereka beranggapan bahwa Allah-lah yang Maha menetapkan harga. Artinya, kenaikan harga BBM ini memang sudah menjadi kehendak Allah alias sudah menjadi takdir. Itu menurut pemahaman mereka. Oleh karena itu, melakukan aksi protes terhadap pemerintah dengan berdemonstrasi adalah perbuatan dosa bertingkat. Dosa pertama adalah menentang takdir, dan dosa kedua adalah karena menentang pemerintah.

Maka, jika kita tanyakan lebih lanjut kepada mereka, niscaya mereka sendiri akan bingung menjawabnya. Misalnya kita tanya, “Yang menaikkan harga BBM itu Allah atau manusia (Jero Wacik)?” Mungkin akan terlontar jawaban dari mereka, “Yang menetapkan harga BBM adalah Allah melalui Jero Wacik.

Jadi, jika melihat cara penyikapan yang seperti ini, kita akan melihat, bahwa mereka ini menggiring persoalan hukum syara’ ke ranah akidah. Jawaban “itu sudah ketetapan Allah” menunjukkan bahwa sebenarnya pembahasan tentang kenaikan harga BBM ini digiring ke arah pembahasan akidah, yaitu tentang khalqul af’al (penciptaan perbuatan). Padahal, selayaknya pembahasan ini dijauhkan dari akidah. Sebab, jika dikaitkan dengan pembahasan akidah, maka yang akan terjadi adalah sebagaimana diskusi antara saya dengan teman saya di atas. Suatu diskusi yang membingungkan. Siapa yang menaikkan harga BBM? Allah atau manusia? Jika jawabannya Allah, pasti akan muncul pertanyaan: bukankah kenaikan harga BBM ini akan membuat rakyat menjadi susah? Membuat rakyat susah itu perbuatan yang zalim atau tidak? Jika zalim, akankah Allah berbuat zalim kepada hamba-Nya? Jika memang ini menaikkan harga BBM ini adalah perbuatan Allah, lalu apakah kita harus pasrah dan berdiam diri ketika melihat minyak yang sudah menjadi hak kita justru diangkut ke luar negeri? Lalu, jika jawabannya adalah manusia, pasti akan muncul pertanyaan: bukankah tadi di atas dikatakan bahwa Allah-lah yang Maha menetapkan harga? Ini suatu pembahasan yang membingungkan.

Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika pembahasan tentang kenaikan harga BBM ini digiring kepada persoalan akidah. Sebab, jika digiring kepada persoalan akidah, jelas sekali bahwa orang tersebut tidak mengetahui fakta persoalan yang sesungguhnya. Faktanya, Indonesia adalah negeri yang memiliki harta kekayaan yang melimpah, termasuk cadangan minyak bumi. Persoalannya, pemerintah Indonesia justru telah menyerahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Akibatnya, justru rakyat Indonesia tidak mendapatkan apa-apa selain kekecewaan dan kekecewaan. Inilah fakta sesungguhnya. Maka sangat tidak tepat jika persoalan kenaikan harga BBM ini diarahkan pada persoalan akidah. Jika tidak tepat, lalu yang tepat seperti apa?

Pembahasan yang tepat adalah mengarahkan persoalan kenaikan harga BBM ini kepada persoalan hukum, bukan persoalan akidah. Apa maksudnya? Maksudnya adalah menghukumi perbuatan ‘menaikan harga BBM’, bukan membahas ‘siapa yang menaikkan harga BBM’. Jika ditanyakan tentang hukum ‘menaikkan harga BBM’ tentu jawabannya adalah haram. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api (sumber energi).” (HR. Abu Dawud)

Jika kaum muslim berserikat atas tiga hal tersebut, itu artinya ketiga hal tersebut adalah milik kaum muslim (rakyat). Maka haram hukumnya menyerahkan barang milik kaum muslim kepada pihak asing. Inilah pemahaman yang tepat tentang persoalan ‘menaikkan harga BBM’. Inilah yang diajarkan Hizbut Tahrir kepada saya. Yaitu tidak membahas ‘siapa yang menciptakan perbuatan: Allah atau manusia?’ tetapi membahas ‘apa hukum perbuatan manusia?’.

Terlepas dari pembahasan tersebut, sebenarnya hadis di atas adalah hadis yang berkaitan dengan kasus tas’ir (pembatasan/pematokan harga), bukan menaikkan harga. Rasulullah (selaku kepala negara) tidak mau menetapkan pembatasan harga/pematokan harga, karena Rasulullah tidak ingin ketika pada hari kiamat beliau tertahan masuk surga oleh hak orang lain hanya karena beliau telah melakukan pembatasan harga. Jadi, hadis di atas adalah dalil tentang haramnya melakukan pembatasan harga oleh kepala negara (khilafah).

Contoh:

Misalnya kepala negara khilafah menetapkan bahwa harga gandum dalam negeri, satu kuintal seharga 200 dinar. Maka siapa pun yang menjual gandum 1 kuintal, harganya tidak boleh melebihi 200 dinar. Hal seperti inilah yang disebut tas’ir (pembatasan harga). Ini tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Sebab, pada hakikatnya seorang penjual bebas menjual barang dagangannya sesuai harga yang dia inginkan. Dia bisa menjual 1 kuintal gandum itu dengan harga 178 dinar, 200 dinar, atau lebih dari itu, namun masih dalam konteks kewajaran, misalnya 205 dinar atau 210 dinar. Inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah dengan kalimat “aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta”. Sebab, jika (misalnya) Rasulullah menetapkan pembatasan harga 200 dinar, padahal ketika seorang penjual bisa menjual 1 kuintal gandum seharga 210 dinar, itu artinya ada rezeki dari si penjual gandum yang ditahan oleh Rasulullah, yaitu 10 dinar. Tetapi karena ada pembatasan harga, maka 10 dinar yang sebenarnya bisa didapatkan di penjual gandum, akan hilang sia-sia. Hal seperti inilah yang ditakutkan Rasulullah dan disebut oleh beliau sebagai bentuk kezaliman.

Jadi, cara penyikapan yang aneh ini memang betul-betul aneh. Dikatakan aneh, sebab ganjil dalam banyak hal.

Misalnya:

1) Menggiring opini kenaikan harga BBM ini ke ranah akidah, padahal selayaknya dibawa ke ranah hukum.
2) Inginnya memberikan solusi, tetapi ternyata sama sekali tidak solutif. Justru menimbulkan persoalan baru, misalnya mundurnya pemikiran umat. Jika umat dicekoki dengan pemahaman seperti itu, maka umat akan terus dibodohi orang kafir yang merampas kekayaan alam di Indonesia.

Wallahu a’lam. [dakwahmedia/www.bringislam.web.id]

Posting Komentar untuk "Sikap Aneh dalam Menyikapi Kenaikan Harga BBM"