Memajukan Wisata Tanpa “Menjual” Perempuan!
Dengan "Visit Malaysia Truly Asia" Malaysia gencar mempromisikan negeri kecilnya dikenal dunia tanpa Miss World
oleh: Zuhroh Astie WieAstie
SEBUAH laporan pernah dibacakan pada Pertemuan
Tingkat Tinggi Sektor Wisata ASEAN 2012 di Bangkok menganalisa kekuatan
sektor pariwisata negara-negara ASEAN, sekaligus rekomendasi mengenai
cara mengembangkan sektor tersebut agar lebih menguntungkan bagi
negara-negara di kawasan.
Laporan itu juga sekaligus memberikan peringkat yang didasarkan pada
penilaian yang mencakup beberapa faktor yaitu kebijakan dan peraturan
negara bersangkutan, pelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan,
kesehatan dan kebersihan, prioritas pariwisata, infrastruktur
transportasi udara, infrastruktur transportasi darat, infrastruktur
pariwisata, infrastruktur Informasi dan Teknologi (ICT), daya saing
harga, sumber daya manusia, afinitas untuk sektor pariwisata, sumber
daya alam dan sumber daya budaya.
Berdasarkan laporan itu, Singapura menempati urutan pertama negara
ASEAN dengan sektor pariwisata yang paling menarik bagi investor,
disusul Malaysia dan Thailand di tempat kedua dan ketiga.
Sedang negara ASEAN lain seperti Brunei Darussalam, Indonesia, dan
Vietnam dikategorikan sebagai negara “yang memiliki potensi di bidang
wisata”, namun masih memiliki berbagai kelemahan. Sementara itu, Filipina dan Kamboja dikategorikan sebagai negara ASEAN yang memiliki banyak kelemahan di sektor ini. (“Ukuran ASEAN, Pariwisata Indonesia Tak Dianggap. Memalukan!!!”, Suarapembaruan.com, Rabu, 30 Mei 2012)
Cermati bai-baik, Indonesia yang begitu kayanya ini, dianggap baru memiliki potensi!
Beberapa kelemahan sektor wisata negara-negara ASEAN yang disorot
dalam laporan tahun itu adalah infrastruktur kurang memadai dan
perhatian terhadap lingkungan yang masih kurang.
Laporan ini menekankan peran penting sektor pariwisata dalam mempercepat pembentukan komunitas ASEAN. Laporan mengulas tentang upaya dan inisiatif negara-negara anggota ASEAN untuk bersama-sama mengembangkan sektor ini.
Promosi tanpa Miss-miss-an
Yang menjadi pertanyaan, apa hebatnya Malaysia dengan Indonesia? Sehingga faktanya banyak orang suka sekolah, berobat dan anjang-sana ke sana ketimbang di dalam negeri?
Syafiq Basri Assegaff, seorang konsultan komunikasi dan Ketua Bidang Pengembangan Cabang Perhumas menulis artikel berjudul “Komunikasi Malaysia” (dimuat Inilah.com, 31 Januari 2013) masalah ini.
Menurut Syafiq Basri, data yang ada menunjukkan industri pariwisata
Malaysia selama 2011-2013 tumbuh sekitar delapan prosen, sehingga
meningkatkan perolehan devisa negara itu pada 2013 mencapai lebih dari
US$ 22,4 milyar.
Selain dari negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia dan Singapura,
turis berdatangan dari China, India dan Timur Tengah, termasuk dari Iran
yang hingga kini masih diboikot Barat.
Dari Iran itu saja, Malaysia menerima tidak kurang dari 180 ribu turis
selama tahun 2011 lalu, sementara pada tahun yang sama (2011) jumlah
turis dari Iran ke Indonesia hanya 18 ribu orang.
Rupanya semua tidak lepas dari gencarnya promosi pemerintah Malaysia sendiri, selain meningkatnya reputasi (brand) negeri itu sebagai hub pusat belanja (shoping) yang menarik di dunia. Dan promosi itu adalah soal komunikasi, bagian penting pemasaran.
Bahkan menurut catatan Syafiq Basri, peristiwa hari besar pun
dikomunikasikan secara serius oleh pemerintah Malaysia kepada khalayak
ramai di dunia. Negeri itu rupanya sengaja merancang banyak libur nasional yang bisa menjadi daya tarik bagi turis asing juga.
Pada bulan Januari-Februari ini saja, setidaknya ada tiga libur besar
yang menjadikan atraksi tersendiri bagi turis manca negara di Malaysia:
pertama Hari Raya Maulidur Rasul saw, disusul dengan liburan panjang
Thaipusam (agama Hindu), dan Tahun Baru China.
Halal Travel – Indonesia vs Malaysia: branding menentukan
Pada tahun 2009 Malaysia berhasil menjaring 23,6 juta turis mancanegara, meningkat 7 % dibanding tahun sebelumnya. Sebagai pembanding, jumlah turis asing ke Indonesia tahun 2009, 2010 dan 2011 menurut data Badan Pusat Statistik adalah 6.323.730, 7.002.944 dan 7.649.731.
Bukan hanya pelancong biasa, Malaysia rupanya juga menggenjot wisata kesehatan alias ‘medical tourism’. Menurut laporan, “Malaysia Medical Tourism Outlook 2012”, perolehan dari industri medical tourism itu tumbuh sebesar 21 % selama jangka waktu 2011-2014.
Lagi-lagi ini semarak berkat promosi gencar yang dikerjasamakan secara
apik antara sektor kesehatan pemerintah dan swasta Malaysia bersama
institusi terkait lainnya.
Di antara yang ‘dibanggakan’ dalam promosi itu adalah bahwa pasien
asing bisa memperoleh layanan terapi sekelas negara maju tetapi ‘dengan
harga jauh lebih murah’.
Semua yang di atas kunci utamanya adalah cara Malaysia ’berkomunikasi’ kepada dunia di berbagai media dan tempat. Termasuk, salah satunya komunikasi di (dan tentang) bandara ibukota negara Kuala Lumpur International Airport (KLIA).
Lalu, di salah satu sudut airport KLIA itu tertulis promosi lain, ‘Selamat datang di salah satu negara paling aman di Asia.”
Promosi atau pengumuman yang kelihatan sepele itu sesungguhnya amat
penting: mau tidak mau ia sekaligus bisa memberi pesan dan kesan bahwa
para turis yang baru datang itu lebih baik tinggal di Malaysia saja,
ketimbang pergi ke negara tetangga yang ‘tidak seaman’ Malaysia. Dan bukankah komunikasi itu adalah menyampaikan ‘pesan’ dan ‘kesan’? (“Komunikasi Malaysia”, Syafiq Basri Assegaff, Inilah.com, Kamis, 31 Januari 2013)
Hebatnya, cara Malaysia mengkomunikasikan negaranya kepada dunia
tanpa acara miss-miss-an seperti Miss World atau harus mendatangkan
produk asing seperti Metallica. Malaysia bahkan lebih memiliki keberanian melarang budaya-budaya asing. Bulan ini, negeri tetangga Indonesia ini melarang grup Band Metal Lamb of God dilarang pentas di Malaysia.
Tahun 2012 negara ini juga pernah melarang melarang konser Erykah Badu, juga melarang konser penyanyi dunia Elton John. Bahkan untuk Elton John, alasannya lebih jelas dan lebih berani dari Indonesia, karena alasan agama. Gerakan masyarakat di sana menilai penyanyi pop Inggris itu secara terbuka menyatakan dirinya sebagai gay (homo). Sementara Indonesia justru mendatangkan penulis lesbian Irshad Manji.
Tak cukup begitu. Di tengah Kuala Lumpur, kawasan Bukit Bintang
disulap sedemikian rupa sehingga menjadi semacam ’surga’ yang bersih
bagi para turis, khususnya yang datang dari Timur Tengah.
Lalu, ketika taksi Anda – yang sopirnya tidak berani membawa penumpang
lebih dari empat (karena law enforcement yang ketat) – mengisi bensin,
di pompa bensin Anda akan melihat komunikasi lain berupa sebuah
pengumuman yang menjelaskan: sekian Ringgit harga asli bensin atau
solar, sekian Ringgit yang disubsidi Negara, dan berapa Ringgit sisanya
yang dibayar konsumen.
Branding dan Kreatifitas
Branding sebuah negara besar berperannya dalam memengaruhi banyak orang. Ia dapat mengubah dan memperkuat persepsi khalayak.
Karena branding di dalam benak adalah mengenai penciptaan
koneksi-koneksi dan asosiasi dengan orang dan berbagai benda bergerak
ataupun benda mati.
Sungguh heran jika panitia penyelenggara Miss World yang kukuh atas
keberatan masyarakat berdalih acaranya ini untuk menaikkan pariwisata. Benarkah dengan Miss World lantas Indonesia kebanjiran kunjungan?
Butktinya, Malaysia tanpa acara mengeksploitas wanita, Indonesia tetap kalah dengan Negara kecil ini.
Banyak kota-kota Indah di Indonesia tidak hanya di Bali. Hanya karena pemerintah yang tidak pintar mengelola seperti Malaysia menjadi tidak dikenal dunia. Seolah-olah Indonesia hanya Bali.
Karenanya, alasa memajukan pariwisata hanyalah sebuah alasan untuk memberi celah agar Miss World disetujui untuk diselenggarakan di Indonesia.
Lagi pula, tak ada jaminan dengan kontes Miss World wisata Indonesia bisa lebih maju. Memangnya tak ada jalan lain lebih kreatif untuk menarik para wisatawan agar mau berkunjung ke Indonesia selain Miss World?
Singapura memiliki daya tarik menjadi objek wisata karena beragam produk belanja yang mampu menarik hati wisatwan. Jepang menjadi objek wisata karena kemajuan teknologinya. Dan semua karena manajemen yang baik dan pelayanan yang memuaskan.
Itulah cara meningkatkan wisatwan dengan cara modern, bukan dengan eksploitasi tubuh wanita. Kepuasan pelanggan akan memberikan kesan untuk meningkatkan wisatawan di Indonesia. Ketika wisatawan asing kembali ke Negara asalnya maka ia akan menjadi jalan promosi melaluli pengalamannya.
Dengan menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan, terpenuhinya
fasilitas dan sarana prasarana adalah cara professional untuk memajukan
wisata di Indonesia. Sedangkan keindahan pariwisata di Indonesia tak kalah jika bersaing ke kancah internasional.*
Penulis pemerhati sosial-keagamaan, tinggal di Semarang [hidayatullah/www.bringislam.web.id]
Posting Komentar untuk "Memajukan Wisata Tanpa “Menjual” Perempuan!"