Imlek Adalah Hari Raya Konghucu, Bukan Sekedar Tradisi Tionghoa : Haram Atas Muslim Merayakannya
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar
Pengantar
Anda mungkin pernah mendengar pernyataan begini.
Bahwa Imlek itu hanyalah tradisi etnis Tionghoa dan bukan bagian ajaran
agama tertentu. Karenanya umat Islam khususnya yang beretnis Tionghoa
boleh-boleh saja merayakan Imlek.
Benarkah Imlek hanya tradisi? Bolehkah seorang muslim
turut merayakan Imlek? Tulisan ini berusaha untuk menjawab dua
pertanyaan tersebut, dengan menelaah ajaran agama Khonghucu, serta
menelaah hukum syariah Islam yang terkait dengan keterlibatan kaum
muslimin dalam perayaan hari raya agama lain.
Imlek Adalah Ajaran Agama Khonghucu, Bukan Sekedar Tradisi Tionghoa
Memang tak jarang kita dengar dari orang Tionghoa,
termasuk tokoh-tokohnya yang sudah masuk Islam, bahwa Imlek itu sekedar
tradisi. Tidak ada hubungannya dengan ajaran suatu agama sehingga umat
Islam boleh turut merayakannya. Sebagai contoh, Sekretaris Umum DPP PITI
(Pembina Iman Tauhid Islam), H. Budi Setyagraha (Huan Ren Cong), pernah
menyatakan bahwa Imlek adalah tradisi menyambut tahun baru penanggalan
Cina, datangnya musim semi, dan musim tanam di daratan Cina. H. Budi
Setyagraha berkata,"Imlek bukan perayaan agama." (Lihat "Sekjen DPP PITI
: Rayakan Imlek Jangan Berlebihan", Kedaulatan Rakyat, Selasa, 13 Pebruari 2007, hal. 2).
Padahal kalau kita mendalami agama Khonghucu,
khususnya mengenai hari-hari rayanya, terbukti bahwa pernyataan tersebut
tidak benar. Sebab sebenarnya Imlek adalah bagian integral dari ajaran
agama Khonghucu, bukan semata-mata tradisi.
Dalam bukunya Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003) hal. vi-vii,
Hendrik Agus Winarso menyebutkan bahwa masyarakat memang kurang
memahami Hari Raya Konfusiani. Hendrik Agus Winarso mengatakan,"Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap sebagai tradisi orang Tionghoa."
Dengan demikian, pandangan bahwa Imlek adalah sekedar tradisi, yang
tidak ada hubungannya dengan agama, menurut penulis buku tersebut,
adalah suatu kesalahpahaman (Ibid., hal. v).
Dalam buku yang diberi kata sambutan oleh Ketua
MATAKIN tahun 2000 Hs. Tjhie Tjay Ing itu, pada hal. 58-62, Hendrik Agus
Winarso telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa Imlek adalah bagian
ajaran Khonghucu. Hendrik Agus Winarso menerangkan, Tahun Baru Imlek
atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui
diri. Momentum ini, kata beliau, diisyaratkan dalam salah satu kitab
suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi :
"Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5).
(Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani, [Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003], hal. 60-61).
Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan Imlek adalah
bagian ajaran Khonghucu, dengan menegaskan,"Dengan demikian, menyambut
Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan dan
keimanan." (ibid.,hal. 61).
Maka tidaklah benar pendapat yang menyebutkan bahwa
Imlek hanya sekedar tradisi orang Tionghoa, atau Imlek bukan perayaan
agama. Yang benar, Imlek justru adalah bagian ajaran agama Khonghucu,
bukan sekedar tradisi.
Lagi pula, harus kami tambahkan bahwa boleh tidaknya
seorang muslim melakukan sesuatu, tidaklah dilihat apakah sesuatu itu
berasal dari tradisi atau ataukah dari agama. Seakan-akan kalau berasal
dari tradisi hukumnya boleh-boleh saja dilakukan, sementara kalau dari
agama lain hukumnya tidak boleh.
Standar semacam itu sungguh batil dan tidak ada dalam
Islam. Karena standar yang benar menurut Islam, adalah Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Allah SWT berfirman (artinya): "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya." (QS Al-A’raaf [7] : 3)
Kalimat "maa unzila ilaykum min rabbikum" dalam ayat di atas yang berarti "apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", artinya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Tafsir Al-Baidhawi, [Beirut : Dar Shaadir], Juz III/2).
Jadi suatu perbuatan itu boleh atau tidak boleh
dilakukan, tolok ukurnya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Apa saja yang
benar menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti boleh dikerjakan.
Sebaliknya apa saja yang batil menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti
tidak boleh dilakukan.
Maka kalau kita hendak menilai perbuatan muslim turut
merayakan Imlek menurut Islam, tolok ukurnya harus benar. Yaitu harus
kita lihat adalah apakah perbuatan itu boleh atau tidak menurut
Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan melihat apakah Imlek itu dari tradisi
atau dari agama.
Sungguh kalau seorang muslim menggunakan tolok ukur
tadi, yaitu melihat sesuatu itu dari tradisi atau agama, ia akan
tersesat. Sebab suatu tradisi tidak selalu benar, adakalanya ia
bertentangan dengan Islam dan adakalanya sesuai dengan Islam. Contoh, free sex pada masyarakat Barat yang Kristen. Free sex
jelas telah menjadi tradisi Barat, meski perbuatan kotor itu bukan
bagian agama Kristen/Katholik, karena agama ini pun mengharamkan zina.
Lalu, apakah karena free sex itu sekedar tradisi, dan bukan agama, lalu umat Islam boleh melakukannya? Jelas tetap tidak boleh, bukan?
Walhasil, mari kita gunakan barometer yang benar
untuk menilai suatu perbuatan. Barometernya, bukan dilihat dari segi
asalnya apakah suatu perbuatan itu dari tradisi atau agama, melainkan
dilihat dari segi boleh tidaknya perbuatan itu menurut Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Inilah pandangan yang haq, tidak ada yang lain.
Haram Atas Muslim Turut Merayakan Imlek
Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah,
haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari raya agama lain,
termasuk Imlek, baik dengan mengikuti ritual agamanya maupun tidak, baik
dianggap ajaran agama maupun dianggap tradisi, termasuk juga memberi
ucapan selamat Gong Xi Fat Chai. Semuanya haram.
Imam Suyuthi berkata,"Juga termasuk perbuatan
mungkar, yaitu turut serta merayakan hari raya orang Yahudi, hari raya
orang-orang kafir, hari raya selain orang Arab [yang tidak Islami],
ataupun hari raya orang-orang Arab yang tersesat. Orang muslim tidak
boleh melakukan perbuatan itu, sebab hal itu akan membawa mereka ke
jurang kemungkaran..." (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91).
Khusus mengenai memberi ucapan selamat, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,"Adapun
memberi ucapan selamat yang terkait syiar-syiar kekufuran yang menjadi
ciri khas kaum kafir, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama, misalnya
memberi selamat atas hari raya atau puasa mereka..." (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, [Beirut : Darul Kutub Al-’Ilmiyah], 1995, Juz I/162).
Dalil Al-Qur`an yang mengharamkan perbuatan muslim merayakan hari raya agama kafir di antaranya firman Allah SWT (artinya) : "Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan..." (QS Al-Furqan [25] : 72).
Kalimat "laa yasyhaduuna az-zuur" dalam ayat tersebut menurut Imam Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah tidak menghadiri kebohongan (az-zuur), bukan memberikan kesaksian palsu. Dalam bahasa Arab, memberi kesaksian palsu diungkapkan dengan kalimat yasyhaduuna bi az-zuur. Jadi ada tambahan huruf jar yang dibaca bi. Bukan diungkapkan dengan kalimat yasyhaduuna az-zuur (tanpa huruf jar bi). Maka ayat di atas yang berbunyi "laa yasyhaduuna az-zuur"
artinya yang lebih tepat adalah " tidak menghadiri kebohongan",
bukannya " memberikan kesaksian palsu." (M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtarat min Kitab Iqtidha` Shirathal Mustaqim Mukhalafati Ash-habil Jahim (terj.), hal. 59-60)
Sedang kata "az-zuur" (kebohongan) itu sendiri
oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas,
dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau kaum
jahiliyah sebelum Islam (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91-95).
Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang
muslim untuk merayakan hari-hari raya agama lain, seperti hari Natal,
Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.
Imam Suyuthi berdalil dengan dua ayat lain sebagai
dasar pengharaman muslim turut merayakan hari raya agama lain (Lihat
Imam Suyuthi, ibid., hal. 92). Salah satunya adalah ayat (artinya) : "Dan
sesungguhnya jika kamu [Muhammad] mengikuti keinginan mereka setelah
datangnya ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk
golongan orang-orang yang zalim." (QS Al-Baqarah [2] : 145).
Menurut Imam Suyuthi, larangan pada ayat di atas
tidak hanya khusus kepada Nabi SAW, tapi juga mencakup umat Islam secara
umum. Larangan tersebut adalah larangan melakukan perbuatan sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang bodoh atau orang kafir [seperti turut
merayakan hari raya mereka]. Sedangkan yang mereka lakukan bukanlah
perbuatan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya (Lihat Imam Suyuthi, ibid., hal. 92).
Adapun dalil As-Sunnah, antara lain Hadits Nabi SAW,"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (HR Abu Dawud).
Dalam hadits ini Islam telah mengharamkan muslim
untuk menyerupakan dirinya dengan kaum kafir pada hal-hal yang menjadi
ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari raya mereka. Maka dari
itu, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari-hari raya agama
lain (Lihat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penjelasan Tuntas Hukum Seputar Perayaan, [Solo : Pustaka Al-Ummat], 2006, hal. 76).
Berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas,
haram hukumnya seorang muslim turut merayakan Imlek dalam segala bentuk
dan manifestasinya. Haram bagi muslim ikut-ikutan mengucapkan Gong Xi Fat Chai
kepada orang Tionghoa, sebagaimana haram bagi muslim menghiasi rumah
atau kantornya dengan lampion khas Cina, atau hiasan naga dan berbagai
asesoris lainnya yang serba berwarna merah. Haram pula baginya
mengadakan berbagai macam pertunjukan untuk merayakan Imlek, seperti live band, karaoke mandarin, demo masak, dan sebagainya.
Semua bentuk perbuatan tersebut haram dilakukan oleh
muslim, karena termasuk perbuatan terlibat merayakan hari raya agama
kafir yang telah diharamkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Himbauan Kepada Muslim Etnis Tionghoa
Terakhir, kami sampaikan seruan dan himbauan kepada
saudara-saudaraku muallaf dari etnis Tionghoa, hendaklah Anda masuk ke
dalam agama Islam secara keseluruhannya (kaffah). Janganlah Anda
–semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda semua— mengikuti
langkah-langkah setan, yakni masuk ke dalam agama Islam namun masih
mempertahankan sebagian ajaran lama yang dulu Anda peluk dan Anda
amalkan, seperti perayaan Imlek. Marilah kita masuk ke dalam agama Islam
dengan seutuhnya dan seikhlas-ikhlasnya. Mari kita renungkan firman
Allah SWT (artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh nyata bagimu." (QS Al-Baqarah [2] : 208)
Wallahu a'lam bi al-shawab.
[www.bringislam.web.id]
Posting Komentar untuk "Imlek Adalah Hari Raya Konghucu, Bukan Sekedar Tradisi Tionghoa : Haram Atas Muslim Merayakannya"