1001 Cara Caleg yang Berujung pada kata “Gila”


1001 Cara Caleg yang Berujung pada kata “Gila”

Oleh : Tresna Mustikasari, Fisika Unpad

Tahun 2014 dikenal dengan ‘tahun politik’ Indonesia. Tepatnya tanggal 9 April 2014 masyarakat seluruh Indonesia akan merayakan ‘pesta rakyat’. Entah mengapa pemilhan umum diistilahkan dengan ‘pesta rakyat’, apa mungkin di saat-saat demikian masyarakat acap kali terkena ‘serangan fajar’? Sebungkus amplop (atau tanpa amplop) hilir mudik mencari penambah suara. 

Sungguh cerdik memang calon-calon ‘pemimpin’ bangsa ini. Seribu satu cara dilakukan untuk memperoleh tampuk kekuasaan. Baliho-baliho dan spanduk-spanduk caleg berbagai partai terlihat terpampang di sepanjang jalan. Iklan-iklan kampanye terus bermunculan di layar TV. Bendera-bendera berkibaran tiada henti. Kaos-kaos simpatisan terus menerus dicetak sebagai bekal kampanye keliling-keliling daerah pemilihan. Stiker-stiker berwarna-warni terlihat menghiasi angkot, warung dan jendela rumah warga. Gantungan kunci mereka tergantung terutama di tas kalangan pemuda. Tak mau kalah, beragam ukuran pin terpajang di baju-baju atau kerudung para simpatisan. Selain itu, artis-artis kini mulai ramai dipinang demi mendulang banyak suara. Hampir semua parpol yang ada terdapat caleg artis di dalamnya, mulai dari yang muda sampai yang tua. 

Tak cukup dengan itu cara caleg untuk mewujudkan ambisinya menjadi penguasa bahkan membuat dia bak orang tak berpendidikan. Cara-cara tidak rasional kini juga ditempuh. Tempat-tempat keramat dan ‘orang pintar’ ramai dikunjungi. Mulai dari caleg biasa saja sampai yang punya harta. Padahal, para dukun mematok tarif yang tak kecil, yaitu berkisar antara ratusan juta sampai milyaran juta. Melihat kondisi persaingan yang ketat serta pengorbanan, atau lebih tepatnya modal awal yang sangat besar itu, maka wajar jika pada akhirnya pasca pemilu usai banyak caleg-caleg yang stress dan bahkan menjadi gila.

Pileg 2009 lalu, pihak Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor menerima sebanyak 10 orang calon legislatif yang mengalami ganguan kejiwaan karena tidak lolos atau terpilih menjadi anggota dewan. Tahun ini, manajemen RSMM telah menyiapkan 10 kamar VIP dan 15 dokter Psikiater, yang diperuntukan bagi para calon anggota legislatif yang mengalami gangguan jiwa yang gagal atau tidak terpilih dalam dalam Pemilihan Legislatif 2014. Lebih lengkapnya rumah sakit menyediakan 450 tempat tidur khusus pasien yang mengalami ganguan jiwa, dan 20 dokter umum serta 15 dokter spesialis. Senada dengan RSMM, Rumah Sakit Umum Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara dan 49 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang ada di Kabupaten Jember, Jawa Timur pun siap menampung caleg yang stres atau depresi akibat Pemilu 2014 mendatang. Tak mau kalah, sebuah pondok pesantren di Grobogan, Jawa Tengah sengaja mempersiapkan kamar khusus yang diperuntukkan bagi para caleg yang kelak mengalami depresi atau stres akibat gagal dalam pencalonan.

Jika kita telisik lebih jauh, ternyata fenomena ‘caleg gila’ ini adalah permasalahan yang sistemik. Mengapa? Karena, fenomena ini terus berlangsung seiring dengan siklus pemilu yang ada. Tidak hanya di satu daerah tertentu saja, tapi hampir di seluruh daerah mengalaminya. Hal ini terlihat semakin jelas dengan sikap para manajemen rumah sakit mana pun dan bahkan pesantren yang telah mampu memprediksi adanya caleg yang kembali stress, depresi dan gila di pileg 2014 yang akan datang.

Sistem politik yang negara Indonesia emban saat ini memang perlu kita kaji ulang. Jika kita lebih berpikir cemerlang dan lebih teliti lagi, ternyata demokrasi kapitalisme sebagai asas negara ini merupakan akar permasalahan yang ada. Contoh kasus dalam pemilu, butuh sekali biaya yang besar untuk menjadi penguasa. Sistem yang ada membuat pemilu menjadi sangat mahal, persaingan sangat ketat dan peluang berhasil sangat kecil. Untuk DPR ada 560 kursi, DPD ada 132 kursi, DPRD provinsi ada 2.112 kursi dan DPRD Kabupaten Kota 16.895 kursi. Total nasional ada 19.699 kursi. Jumlah kursi sebanyak itu diperebutkan oleh sekitar 200 ribu caleg DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II. Artinya, hanya 10% caleg yang akan berhasil. Untuk menjadi bagian dari 10% itu, 1001 cara dihalalkan. Rata-rata biaya kampanye bagi caleg DPR pada 2009 saja mencapai Rp 3 miliar. Tidak menutup kemungkinan akan semakin naik di tahun 2014 ini. Terbayang, jika gagal dalam pileg, modal milyaran rupiah melayang begitu saja dan akhirnya stress, depresi dan bahkan gila.

Dilain pihak, menjadi seorang pemenang pun belum tentu enak. Ternyata gaji menjadi caleg tak seberapa dibandingkan dengan modal awal yang dikeluarkan. Akhirnya mereka memutar otak bagaimana caranya untuk mengembalikan modal. Lagi-lagi 1001 cara dilakukan. Mulai dari yang halal sampai yang haram. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi pilihan awal. Wajar jika akan kembali tersiar kabar berdirinya kerajaan-kerajaan baru seperti milik Ratu Banten. Wajar jika list orang di KPK semakin panjang. Wajar jika tender-tender proyek negara dikuasai segelintir perusahaan saja. Semua kekacauan ini wajar. Jika sudah begini, siapa yang menjadi korban? Lagi-lagi masyarakat yang menjadi korban. Habis manis sepah dibuang, janji-janji manis tak kunjung datang. Rakyat suaranya tak dibutuhkan lagi, bahkan tak didengar lagi.

Apakah bangsa ini akan terus-menerus seperti ini? Tentu tidak. Setiap warga menginginkan keadaan yang lebih baik. Harapan ini tentu bisa terealisasikan jika kita tahu solusinya yang pundamental, bukan solusi pragmatis yang akhirnya bagai tambal sulam sarung bolong. Masalah satu selesai, masalah lain tiba. Lantas apa solusi yang mendasar itu? Jika yang rusak adalah sistem, maka solusinya pun berupa sistem. 

Islam merupakan dien yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, islam merupakan suatu pandangan hidup, suatu ideologi dan suatu sistem yang tepat sebagai solusi permasalahan yang ada saat ini. Tidak diragukan lagi kebenaran dari sistem islam, karena Allah lah yang telah menjaminnya. Sedangkan Allah adalah pencipta manusia dan alam semesta, maka Allah lebih layak menjadi al-Mudabbir (pengatur) bagi manusia, bukan manusia itu sendiri. Bahkan sejarah telah mencatat bagaimana 1300 tahun islam menorehkan tinta emas. Mulai dari daulah islam di zaman Rasulullah, Khulafaurrasyidin¸ Khilafah Abasiyah, Umayah dan Utsmaniyah. Manusia hidup sejahtera dan diperlakukan layaknya manusia. Berbeda 1800 dengan kondisi umat saat ini, mereka terhimpit, tersiksa, terdzalimi, dan bahkan sitem yang dianut negaranya dengan sengaja membuatnya stress dan gila. Islam adalah solusi bagi segala permasalahan hidup kita.

Wallohu’alam bi Ashowab..




[www.bringislam.web.id]

Posting Komentar untuk "1001 Cara Caleg yang Berujung pada kata “Gila”"