Rezim Jokowi Naikkan BBM, Rakyat Dibodohi
Kholila Ulin Ni’ma
Pendidik di Sekolah Alam Mutiara Umat Tulungagung
Alumnus Pascasarjana IAIN Tulungagung.
Tampaknya rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) sudah bulat. Meskipun terbukti banyak pertentangan dari berbagai kalangan untuk mencagah kenaikan ini, namun sepertinya pemerintah tak mengindahkan. Bahkan berbagai argumentasi dibuat (hingga terkesan sengaja dibuat-buat) supaya rakyat menganggap bahwa kenaikan harga BBM adalah suatu hal yang wajar. Berbagai alasan dikemukakan, seperti banyak BBM yang dinikmati orang kaya, membebani APBN, pengaruh harga minyak dunia, konsumtif, dan lain sebagainya ini justru menunjukkan rezim Jokowi sangat mengotot menaikkan harga BBM. Ditambah dukungan dari menteri baru, Susi Pudjiastuti yang mengatakan bahwa subsidi BBM merupakan sumber maksiat, sehingga ia berasumsi untuk mengurangi subsidi BBM.
Berbagai ‘Dalih’ Kenaikan Harga BBM
Alasan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh orang kaya perlu ditinjau ulang. Sebab hasil Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS 2010) menunjukkan bahwa pengguna BBM 65% adalah rakyat kelas bawah dan miskin, 27% menengah, 6% menengah ke atas, dan hanya 2% orang kaya. Dan dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta (2010), sebanyak 82% diantaranya merupakan kendaraan roda dua yang nota bene kebanyakan dimiliki oleh kelas menengah bawah. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat.
Alasan membebeani APBN tidak bisa dibenarkan karena yang membebani APBN saat ini justru bunga utang dalam negeri maupun luar negeri. APBN saat ini menanggung beban pembayaran bunga utang dan cicilannya yang mencapai Rp221 triliun, terdiri dari pembayaran bunga utang sebesar Rp 154 triliun untuk cicilan pokok sebesar Rp 66,9 triliun. Utang Pemerintah yang kini mencapai Rp2.500 triliun per Juni 2014 tersebut, merupakan dampak dari kebijakan Pemerintah yang menjadikan utang ribawi sebagai cara untuk menambal defisit.
Celakanya sebagian pembayaran utang-utang pemerintah digunakan untuk membayar bunga obligasi rekap yang dimiliki oleh sejumlah bank-bank rekapitalisasi, pasca krisis 1998. Dalam Pandangan Islam, utang-utang tersebut jelas haram sebab mengandung riba dan jelas merugikan negara.
Alasan harga minyak dunia yang tinggi juga tidak tepat. Faktanya saat ini harga minyak berada pada posisi sangat rendah yaitu US$ 83,72 per barel.
Alasan menaikkan BBM karena selama ini BBM dinilai hanya untuk konsumtif juga sebuah kebohongan. Pasalnya, banyak masyarakat yang kehidupan sehari-harinya memang bergantung pada BBM.
Jutaan nelayan yang menggunakan BBM untuk cari ikan itu apakah bisa disebut perbuatan konsumtif? Jutaan petani yang menggerakkan traktor merek, apakah itu juga konsumtif? Jutaan mahasiswa dan pelajar yang berangkat menggunakan kendaraan ke sekolah apa mereka itu konsumtif? Jutaan pengusaha kecil dan menengah menggunakan BBM untuk menggerakkan usaha mereka apa itu konsumtif? Jadi sekali lagi itu alasan yang tidak rasional dan kebohongan yang selalu diulang-ulang dengan berbagai alasan.
Apalagi alasan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang mengatakan bahwa subsidi BBM merupakan sumber maksiat, sungguh logika yang tidak masuk akal. Susi mengaku telah menemukan fakta bahwa ada nelayan yang biasanya melaut belakangan justru menjual BBM bersubsidi. Karena itu, Susi meminta dukungan pengusaha untuk menyetujui penghapusan subsidi BBM.
Dampak Kenaikan Harga BBM
Pengurangan subsidi BBM yang berarti menaikkan harga BBM akan mengakibatkan biaya produksi yang tinggi. Hal ini memungkinkan industri tidak berkembang dengan baik dan berimbas pada PHK buruh. Dampak selanjutnya adalah jumlah pengangguran meningkat. Pemutusan hubungan kerja pada pekerja yang mayoritas laki-laki (sebagai penanggungjawab nafkah keluarga) mengakibatkan para ibu dituntut aktif bekerja mencari penghasilan di luar rumah untuk membantu suami mereka. Di Indonesia jutaan perempuan terpaksa masuk dunia kerja dengan menjadi buruh industri, pertanian, dan sisanya masuk dalam sektor perdagangan. Juga terdapat jutaan buruh perempuan yang menjadi TKW di luar negeri. Resiko eksploitasi, penganiayaan, pelecehan seksual, perlakuan tidak layak, bahkan dibunuh harus dihadapi.
Dunia kerja juga seringkali berakhir pada terlalaikannya kewajiban sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Konflik yang berakhir perceraian dengan suami pun marak terjadi. Terabaikannya pendidikan anak juga terjadi, sehingga muncullah generasi menyimpang. Para ibu tak sempat lagi mengawasi kehidupan anak-anak mereka yang juga rusak. Keluarga hancur dan rusak sebagaimana rusaknya sistem sekuler yang berlaku saat ini. Sungguh, kebijakan pengurangan (bahkan penghapusan) subsidi BBM yang berimbas pada kenaikan harga BBM benar-benar akan menambah kesengsaraan rakyat. Sungguh kebijakan tersebut adalah kebijakan yang menzalimi dan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat.
Bagaimana Islam Menuntaskan?
Potensi pendapatan negara ini sebenarnya sangat besar jika dikelola berdasarkan syariah sehingga tidak hanya dapat menutupi anggaran belanja pemerintah, namun juga berpotensi menghasilkan surplus yang berlimpah.
Sebagai contoh, jika pengelolaan Sumber Daya Alam negeri ini dikelola oleh BUMN secara maksimal, maka tanpa harus menarik pajak nilai pendapatannya sudah sangat besar. Apalagi hanya sekedar menambal apa yang disebut pemerintah sebagai belanja subsidi BBM yang nilainya hanya Rp291 triliun. Sekedar contoh, untuk batu bara, produksi tahun 2013 mencapai 421 juta ton. Jika harga produksi rata-rata perton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014 US$ 74 per ton maka potensi pendapatannya mencapai Rp.250 triliun.
Contoh lainnya adalah tembaga. Menurut Data BPS, tahun 2012 terdapat 2.385.121 metrik ton produksi tembaga di Indonesia. Jika mengacu pada rata-rata biaya produksi dan harga jual tembaga PT Freeport tahun 2012, sebesar US$ 1,24 dan US$3.6 per pound, maka potensi pendapatannya sebesar Rp124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah mencapai Rp374 triliun.
Padahal komoditas tambang di negeri ini amat melimpah, seperti minyak mentah, gas, emas, nikel yang bernilai ribuan triliun. Namun sayang, pendapatan dari penjualan komoditas tersebut, tidak dapat masuk ke dalam APBN saat ini, melainkan hanya sedikit saja dalam bentuk pajak dan royalti. Bandingkan dengan besar pendapatan SDA migas dan nonmigas pada RAPBN 2015 yang masing-masing hanya sebesar Rp207 triliun dan Rp30 triliun.
Pangkal masalah tersebut adalah, sebagaian besar barang-barang tambang tersebut dikelola oleh swasta. Di sisi lain peran BUMN amat minim. Pada industri batu bara misalnya pangsa produksi PT Bukit Asam hanya lima persen dari total produksi batu bara nasional.
Demikian pula dengan minyak mentah dan gas yang dikelola oleh Pertamina yang kurang yang dari 20 persen. Ini merupakan akibat dari paradigma kapitalisme yang diterapkan Negara ini dalam pengelolaan sektor pertambangan yang menurut Islam seharusnya dikelola oleh negara. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
« اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“ (HR Abu Daud)
Yang dimaksud dengan api adalah batu yang mengeluarkan api, termasuk juga bahan bakar minyak. Walhasil, berbagai alasan untuk mendukung kenaikan harga BBM ini tidak bisa dibenarkan.
Kebijakan menaikkan harga BBM dengan maksud untuk menyehatkan APBN dan mengurangi defisit APBN, jelas sangat absurd. Kebijakan tersebut selain akan mendzalimi rakyat, juga menunjukkan ‘kemalasan’ Pemerintah dalam menjalan banyak alternatif lain yang justru menguntungkan pemerintah dan rakyat.
Lebih dari itu, upaya tersebut merupakan bagian dari strategi pemerintah, yang didukung dan selalu ‘diingatkan’ oleh Bank Dunia, IMF, dan berbagai lembaga lainnya, serta tentu saja para investor asing, untuk menyempurnakan liberalisasi di sektor migas di negeri ini khususnya di sektor hilir.
Rencana kebijakan kenaikan BBM, merupakan implikasi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang digunakan dalam mengelola ekonomi negara ini termasuk dalam penyusunan APBN. Jadi, siapapun rezimnya selama masih tunduk kepada Kapitalisme, akan bersikap sama, termasuk rezim Jokowi yang mengklaim merakyat.
Untuk itu satu-satu jalan untuk membebaskan diri penjajahan ini adalah dengan menegakkan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam. Berdasarkan syariah Islam, barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah adalah milik umum (rakyat) yang tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing.
Negara seharusnya mengelolanya dengan baik dan hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Sehingga, penegakan Khilafah seharusnya menjadi agenda utama bangsa ini untuk membebaskan diri dari penjajahan Kapitalisme. Allahu a’lam bish-showab
[www.bringislam.web.id]
Pendidik di Sekolah Alam Mutiara Umat Tulungagung
Alumnus Pascasarjana IAIN Tulungagung.
Tampaknya rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) sudah bulat. Meskipun terbukti banyak pertentangan dari berbagai kalangan untuk mencagah kenaikan ini, namun sepertinya pemerintah tak mengindahkan. Bahkan berbagai argumentasi dibuat (hingga terkesan sengaja dibuat-buat) supaya rakyat menganggap bahwa kenaikan harga BBM adalah suatu hal yang wajar. Berbagai alasan dikemukakan, seperti banyak BBM yang dinikmati orang kaya, membebani APBN, pengaruh harga minyak dunia, konsumtif, dan lain sebagainya ini justru menunjukkan rezim Jokowi sangat mengotot menaikkan harga BBM. Ditambah dukungan dari menteri baru, Susi Pudjiastuti yang mengatakan bahwa subsidi BBM merupakan sumber maksiat, sehingga ia berasumsi untuk mengurangi subsidi BBM.
Berbagai ‘Dalih’ Kenaikan Harga BBM
Alasan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh orang kaya perlu ditinjau ulang. Sebab hasil Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS 2010) menunjukkan bahwa pengguna BBM 65% adalah rakyat kelas bawah dan miskin, 27% menengah, 6% menengah ke atas, dan hanya 2% orang kaya. Dan dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta (2010), sebanyak 82% diantaranya merupakan kendaraan roda dua yang nota bene kebanyakan dimiliki oleh kelas menengah bawah. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat.
Alasan membebeani APBN tidak bisa dibenarkan karena yang membebani APBN saat ini justru bunga utang dalam negeri maupun luar negeri. APBN saat ini menanggung beban pembayaran bunga utang dan cicilannya yang mencapai Rp221 triliun, terdiri dari pembayaran bunga utang sebesar Rp 154 triliun untuk cicilan pokok sebesar Rp 66,9 triliun. Utang Pemerintah yang kini mencapai Rp2.500 triliun per Juni 2014 tersebut, merupakan dampak dari kebijakan Pemerintah yang menjadikan utang ribawi sebagai cara untuk menambal defisit.
Celakanya sebagian pembayaran utang-utang pemerintah digunakan untuk membayar bunga obligasi rekap yang dimiliki oleh sejumlah bank-bank rekapitalisasi, pasca krisis 1998. Dalam Pandangan Islam, utang-utang tersebut jelas haram sebab mengandung riba dan jelas merugikan negara.
Alasan harga minyak dunia yang tinggi juga tidak tepat. Faktanya saat ini harga minyak berada pada posisi sangat rendah yaitu US$ 83,72 per barel.
Alasan menaikkan BBM karena selama ini BBM dinilai hanya untuk konsumtif juga sebuah kebohongan. Pasalnya, banyak masyarakat yang kehidupan sehari-harinya memang bergantung pada BBM.
Jutaan nelayan yang menggunakan BBM untuk cari ikan itu apakah bisa disebut perbuatan konsumtif? Jutaan petani yang menggerakkan traktor merek, apakah itu juga konsumtif? Jutaan mahasiswa dan pelajar yang berangkat menggunakan kendaraan ke sekolah apa mereka itu konsumtif? Jutaan pengusaha kecil dan menengah menggunakan BBM untuk menggerakkan usaha mereka apa itu konsumtif? Jadi sekali lagi itu alasan yang tidak rasional dan kebohongan yang selalu diulang-ulang dengan berbagai alasan.
Apalagi alasan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang mengatakan bahwa subsidi BBM merupakan sumber maksiat, sungguh logika yang tidak masuk akal. Susi mengaku telah menemukan fakta bahwa ada nelayan yang biasanya melaut belakangan justru menjual BBM bersubsidi. Karena itu, Susi meminta dukungan pengusaha untuk menyetujui penghapusan subsidi BBM.
Dampak Kenaikan Harga BBM
Pengurangan subsidi BBM yang berarti menaikkan harga BBM akan mengakibatkan biaya produksi yang tinggi. Hal ini memungkinkan industri tidak berkembang dengan baik dan berimbas pada PHK buruh. Dampak selanjutnya adalah jumlah pengangguran meningkat. Pemutusan hubungan kerja pada pekerja yang mayoritas laki-laki (sebagai penanggungjawab nafkah keluarga) mengakibatkan para ibu dituntut aktif bekerja mencari penghasilan di luar rumah untuk membantu suami mereka. Di Indonesia jutaan perempuan terpaksa masuk dunia kerja dengan menjadi buruh industri, pertanian, dan sisanya masuk dalam sektor perdagangan. Juga terdapat jutaan buruh perempuan yang menjadi TKW di luar negeri. Resiko eksploitasi, penganiayaan, pelecehan seksual, perlakuan tidak layak, bahkan dibunuh harus dihadapi.
Dunia kerja juga seringkali berakhir pada terlalaikannya kewajiban sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Konflik yang berakhir perceraian dengan suami pun marak terjadi. Terabaikannya pendidikan anak juga terjadi, sehingga muncullah generasi menyimpang. Para ibu tak sempat lagi mengawasi kehidupan anak-anak mereka yang juga rusak. Keluarga hancur dan rusak sebagaimana rusaknya sistem sekuler yang berlaku saat ini. Sungguh, kebijakan pengurangan (bahkan penghapusan) subsidi BBM yang berimbas pada kenaikan harga BBM benar-benar akan menambah kesengsaraan rakyat. Sungguh kebijakan tersebut adalah kebijakan yang menzalimi dan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat.
Bagaimana Islam Menuntaskan?
Potensi pendapatan negara ini sebenarnya sangat besar jika dikelola berdasarkan syariah sehingga tidak hanya dapat menutupi anggaran belanja pemerintah, namun juga berpotensi menghasilkan surplus yang berlimpah.
Sebagai contoh, jika pengelolaan Sumber Daya Alam negeri ini dikelola oleh BUMN secara maksimal, maka tanpa harus menarik pajak nilai pendapatannya sudah sangat besar. Apalagi hanya sekedar menambal apa yang disebut pemerintah sebagai belanja subsidi BBM yang nilainya hanya Rp291 triliun. Sekedar contoh, untuk batu bara, produksi tahun 2013 mencapai 421 juta ton. Jika harga produksi rata-rata perton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014 US$ 74 per ton maka potensi pendapatannya mencapai Rp.250 triliun.
Contoh lainnya adalah tembaga. Menurut Data BPS, tahun 2012 terdapat 2.385.121 metrik ton produksi tembaga di Indonesia. Jika mengacu pada rata-rata biaya produksi dan harga jual tembaga PT Freeport tahun 2012, sebesar US$ 1,24 dan US$3.6 per pound, maka potensi pendapatannya sebesar Rp124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah mencapai Rp374 triliun.
Padahal komoditas tambang di negeri ini amat melimpah, seperti minyak mentah, gas, emas, nikel yang bernilai ribuan triliun. Namun sayang, pendapatan dari penjualan komoditas tersebut, tidak dapat masuk ke dalam APBN saat ini, melainkan hanya sedikit saja dalam bentuk pajak dan royalti. Bandingkan dengan besar pendapatan SDA migas dan nonmigas pada RAPBN 2015 yang masing-masing hanya sebesar Rp207 triliun dan Rp30 triliun.
Pangkal masalah tersebut adalah, sebagaian besar barang-barang tambang tersebut dikelola oleh swasta. Di sisi lain peran BUMN amat minim. Pada industri batu bara misalnya pangsa produksi PT Bukit Asam hanya lima persen dari total produksi batu bara nasional.
Demikian pula dengan minyak mentah dan gas yang dikelola oleh Pertamina yang kurang yang dari 20 persen. Ini merupakan akibat dari paradigma kapitalisme yang diterapkan Negara ini dalam pengelolaan sektor pertambangan yang menurut Islam seharusnya dikelola oleh negara. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
« اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“ (HR Abu Daud)
Yang dimaksud dengan api adalah batu yang mengeluarkan api, termasuk juga bahan bakar minyak. Walhasil, berbagai alasan untuk mendukung kenaikan harga BBM ini tidak bisa dibenarkan.
Kebijakan menaikkan harga BBM dengan maksud untuk menyehatkan APBN dan mengurangi defisit APBN, jelas sangat absurd. Kebijakan tersebut selain akan mendzalimi rakyat, juga menunjukkan ‘kemalasan’ Pemerintah dalam menjalan banyak alternatif lain yang justru menguntungkan pemerintah dan rakyat.
Lebih dari itu, upaya tersebut merupakan bagian dari strategi pemerintah, yang didukung dan selalu ‘diingatkan’ oleh Bank Dunia, IMF, dan berbagai lembaga lainnya, serta tentu saja para investor asing, untuk menyempurnakan liberalisasi di sektor migas di negeri ini khususnya di sektor hilir.
Rencana kebijakan kenaikan BBM, merupakan implikasi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang digunakan dalam mengelola ekonomi negara ini termasuk dalam penyusunan APBN. Jadi, siapapun rezimnya selama masih tunduk kepada Kapitalisme, akan bersikap sama, termasuk rezim Jokowi yang mengklaim merakyat.
Untuk itu satu-satu jalan untuk membebaskan diri penjajahan ini adalah dengan menegakkan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam. Berdasarkan syariah Islam, barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah adalah milik umum (rakyat) yang tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing.
Negara seharusnya mengelolanya dengan baik dan hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Sehingga, penegakan Khilafah seharusnya menjadi agenda utama bangsa ini untuk membebaskan diri dari penjajahan Kapitalisme. Allahu a’lam bish-showab
Posting Komentar untuk "Rezim Jokowi Naikkan BBM, Rakyat Dibodohi"