Apa Itu Demokrasi?





APA ITU DEMOKRASI?

Demokrasi
Islam bukan demokrasi

Islam berbeda dengan demokrasi

Islam tidak boleh berdiri dengan demokrasi

Islam = Quran & Sunnah

Renungan bagi para aktivis islam yang memperjuangkan demokrasi
Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).

Demokrasi sebagai proses politik dapat memuat muatan-muatan lokal sesuai area yang melingkarinya (seperti pengalaman politik dan definisi orang-orang yang duduk dalam pemerintahan). Karena itu, tidak pernah ada sistem demokrasi ideal yang pernah terwujud. Disamping itu, karena banyaknya area yang mempengaruhi dan melingkupinya, maka dalam ilmu politik seringkali sulit membedakan antara pemerintahan demokrasi dan pemerintahan tirani.

Apa yang dimaksud dengan suara terbanyak? ahli-ahli politik mengajukan beberapa syarat. Diantaranya tidak tampak adanya pemaksaan atau ancaman untuk menggolkan suatu opini tertentu, tidak ada pembatasan kebebasan berbicara, tidak terdapat monopoli propaganda dan tidak ada control institutional terhadap fasilitas-fasilitas komunikasi massa. Pada kenyataannya definisi dari pemaksaan, ancaman, pembatasan, monopoli, propaganda dan control institutional tidak pernah diterjemahkan kecuali oleh pemerintah apapun namanya.

Karena itu, Aristoteles menyebut pemberlakuan demokrasi sebagai suatu kemerosotan. Alasannya ketidakmungkinan orang banyak untuk memerintah yang kecil jumlahnya. Bahkan Plato seorang pemikir yang diagung-agungkan oleh barat juga melancarakan kritik terhadap demokrasi. Katanya kebanyakan orang adalah bodoh atau jahat atau kedua-duanya dan cenderung berpihak kepada diri sendiri. Jika orang banyak ini dituruti, maka muncullah kekuasaan yang bertumpu pada ketiranian dan terror. Karena itu pula diyakini hanya segelintir orang yang diuntungkan dari sistem pemerintahan yang demokratis ini.
 
George Santayana, penyanjung berat Plato menyerukan “Give divine right to rule” (berikan Tuhan hak untuk memerintah) Bahkan Winston Churchil mengeluarkan deklarasi yang bunyinya “demokrasi is worst possible form of government” (demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari bentuk pemerintahan).
 
Chandra Muzzafar, direktur Just World Trust (LSM di penang Malaysia) dalam buku “Hak-Hak Asasi Manusia Dalam tata Dunia Baru” memandang ide-ide demokratis berasal dari dunia barat dan terkesan kolonis. Ia menulis, usaha mencolok untuk melanggengkan kepentingan-kepentingan ideologis dan ekonomi (barat) yang sempit dengan disamarkan kata-kata manis seputar kebebasan dan demokrasi.
 
Di zaman Yunani kuno dimana demokrasi itu berasal tokoh seperti Solon, Chleisthenes dan Demosthenes, berpandangan bahwa konsep demokrasi adalah sistem politik terbaik. Namun ironis, periode demokratis dalam sejarah Yunani tercatat hanya sebagai kasus-kasus istimewa. Politik Yunani di masa beberapa abad sebelum masehi justru didominasi periode kediktatoran tirani danoligarki. Benih demokrasi malah hancur ketika Negara Sparta yang otoriter mengalahkan Athena dalam perang Ploponesia (Amien Rais, Demokrasi dengan proses politik LP3ES, 1986).

Hal di atas membuat Plato dan Aristoteles, dua tokoh kritisi tentang demokrasi yang sulit dibantah berpandangan lain berdasarkan pengamatan mereka atas praktek demokrasi di Athena, maka demokrasi justru merupakan sistem yang berbahaya dan tidak praktis. Bahkan Aristoteles menambahkan, “Pemerintahan yang didasarkan pada pilihan orang banyak dapat mudah dipengaruhi oleh para demagog dan akhirnya akan merosot jadi kediktatoran.” Demokrasi akan mudah meluncur ke arah tirani. Amerika serikat pun yang membangga-banggakan diri sebagai negara paling demokratis di dunia dan pejuang HAM yang hebat ternyata menyimpan borok demokrasi itu sendiri. Paul Findley senator AS lewat bukunya “Mereka Yang Berani Bicara dan Diplomasi Munafik Ala Yahudi”, membongkar dominasi loby Yahudi (AIPAC) dalam tubuh Kongres AS. Tidak seorang pun calon presiden AS yang bisa duduk di kursi kepresidenan tanpa direstui oleh lobi Yahudi tersebut, tegasnya.

Data di atas selain menarik juga bagus untuk dibandingkan dengan negara-negara yang selama ini mengklaim sebagai pewaris dan pelaksana demokrasi. Di Amerika masa pemilihan presiden sering dibanggakansebagai praktek demokrasi paling nyata. Debat antar kandidiat, saling serang, propaganda (fitnah), hingga pengungkapan aib-aib pribadi (ghibah) tak hanya menjadi bumbu bagi pesta demokrasi namun telah menjadi bagian inti dari sandiwara demokrasi itu sendiri yang menjadi sekadar hiburan yang meninabobokan masyarakat Amerika. Di setiap tempat nama demokrasi semakin popular dengan macam-macam embel-embel Demokrasi Barat (Kapitalis), Demokrasi Proletar (Komunis), Demokrasi Pancasila (bebas bertanggung jawab), bahkan dengan latah orang Islam pun mengikuti orang kafir mengembel-embeli demokrasi dengan nama Teo Demokrasi (Demokrasi Islam). Bahkan tak jarang kata demokrasi dicomot begitu saja untuk mengesankan rakyat, bahwa pemerintah yang sedang berjalan adil dan bijaksana.

Revolusi Prancis merupakan salah satu pelajaran diperkudanya kata demokrasi bagi kepentingan segelintir orang. Banyak rakyat miskin di Prancis kala itu mendukung revolusi tersebut dikarenakan terkagum-kagum pada semboyan “Liberte, Egalite, Franite”. Mereka berharap setelah usai revolusi, kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan akan tercipta di antara mereka semua. “Prancis akan menjadi pelopor bagi kehidupan negara paling demokratis” demikian kira-kira harapan mereka. Namun sejarah membuktikan angan-angan tersebut tak pernah terjadi. Rakyat miskin terlalu naif untuk bisa memahami bahwa kemerdekaan “Liberte” yang dimaksud adalah kemerdekaan kaum borjuis untuk berdagang bebas. Tentu saja bebas memonopoli pasar dan daerah pemasaran, bebas bersaing dengan pengusaha kecil dan kesemuanya yang ada pada akhirnya hanya akan menggulung habis semua potensi pengusaha lemah. Sedang persamaannya “Elagite” yang dimaksud adalah persamaannya kaum borjuis dalam kedudukannya dengan ancient regime dulu itu. Dan persaudaraan “Fraternite” yang terdengar luhur itu sesungguhnya hanyalah persaudaraan antar kaum borjuis yang satu dengan yang lainnya yang tidak dibatasi sekat geografis. Sebab itu Revolusi Prancis sesungguhnya hanyalah revolusi kaum borjuis(bangsawan) bukan revolusi bagi keseluruhan bangsa demi demokrasi. Kehidupan rakyat kecil sebelum dan setelah revolusi tidak mengalami perubahan yang berarti, bagaikan jalan di tempat.
 
Telaah tajam diberikan oleh Abul A’la Al Maududi seperti yang dinukil Amien Rais dalam pengantar buku “Khilafah dan kerajaan”. Bagi Maududi, demokrasi yang sering dianggap sebagai sistem politik paling modern gagal menciptakan keadilan sosio ekonomi dan juga keadilan hukum.

Jurang lapisan kaya dan miskin, hak-hak politik rakyat yang terbatas pada formalitas empat atau lima tahunan hanya “Siapapun yang sedikit mendalami memang akan menyadari bahwa yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki dimana sekelompok penguasa saling bekerja sama untuk menentukan kebijakan politik sosial dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana sesungguhnya aspirasi rakyat sebenarnya”.

Dan cacat demokrasi yang paling fatal adalah terdapat pada landasan konsepsinya sendiri. Prinsip kedaulatan di tangan rakyat yang diwujudkan dalam suara terbanyak. Prinsip mayoritas ini amat rentan tatkala penguasa atau sekelompok orang dapat merekayasa masyarakat melalui propaganda, Money Politic, tindak persuasif hingga refresif agar mendukungnya. Dengan propaganda terus-menerus rakyat dapat menganggap surga adalah neraka, dan neraka adalah surga, benar jadi salah, salah jadi benar, begitu seterusnya seperti yang ditunjukkan Adolf Hitler dalam “Mein Kampf”. Sisi lain yang perlu dicatat bahwa rakyat sendiri adalah individu yang tak lepas dari tarikan hawa nafsu dan godaan setan. Timbangan baik buruk yang diserahkan pada rakyat adalah sebuah kekacaubalauan.

Dalam kasus The Prohobition Law of America, mula-mula rakyat Amerika secara rasional dan logis berpendapat bahwa minuman keras tidak hanya berdampak negatif bagi kemampuan mental dan intelektual manusia serta mendorong timbulnya kekacauan masyarakat. Hukum ini disetujui suara mayoritas. Namun ketika hukum ini mulai diberlakukan, rakyat yang terlanjur mencandu tak dapat melepaskan ketergantungan itu. Akhirnya undang-undang itu dicabut oleh rakyat sendiri. UNESCO sendiri pernah menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi itu bersifat ambigious (mendua, tak menentu). Maka tak heran jika seluruh pemimpin negara ramai-ramai menyatakan we are all democrats (kami semua adalah demokrat) meski kenyataannya berbeda-beda, bahkan dalam Encyclopedia Americana, Uni Soviet (sebelum bubar) Cina, dan Kuba yang nyata-nyata komunis pun menyebut pemerintahannya sebagai pemerintahan demokrasi. Francis Fukuyama akhirnya menulis dalam bukunya “The End of History” (1989), “Sejarah dunia telah berakhir dengan kemenangan di pihak demokrasi”, benarkah?.
 
DR Adnan Ali Ridho An Nahwi dalam buku “Asy Syura La Ad Dimuqratiyah” (Syura Bukan Demokrasi) berpendapat bahwa demokrasi hanyalah sarana musuh Islam untuk menghacurkan ummat Islam. Demokrasi Perancis di Aljazair, demokrasi Inggris di Mesir, Palestina, India dan demokrasi Amerika di Lebanon dan Turki justru menghembuskan kehinaan bagi rakyat dan bangsa Muslim. Beberapa fakta modern jelas-jelas menunjukkan Barat tidak pernah memberi tempat bagi kaum muslimin untuk memenangkan demokrasi di banyak tempat, dari mulai Mesir dengan Ikhwanul Musliminnya, Aljazair dengan FIS nya sampai Turki dengan Refahnya karena menurut barat ada ketidakselarasan antara demokrasi dengan Islam.
"Barangsiapa dari kalian yang hidup (setelah masaku), akan banyak melihat perselisihan yang banyak, maka kalian wajib berpegang-teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurasyidin, gigitlah dengan kuat dan jauhilah perkara-perkara baru” (HR. Abu Dawud)
GlobalKhilafah


Posting Komentar untuk "Apa Itu Demokrasi?"